Novel Muhammad Najib, “Bersujud Diatas Bara” (Seri-19): Merantau Ke Bali

Merantau Ke Bali
Muhammad Najib, Dubes RI untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO
banner 400x400

“Kalau dihitung-hitung asset yang ada hanya rumah yang Kita tempati, sepeda motor dan sedikit perhiasan Ibu. Kalau mau, Kamu dapat menggunakannya”, jawab Bu Bisri.

“Tapi Ibu ikhlas, kan?”, tanya Mujahid.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

“Tentu, demi kebahagiaan anaknya seorang Ibu selalu siap melakukan apa saja”, jawab si Ibu.

Mujahid kemudian menghitung-hitung jumlah yang dibutuhkan. Malam harinya Ia bicara pada istrinya.

“Dik, Ibu akan memberikan sepeda motor dan perhiasannya sebagai modal usaha Kita, tapi jumlah itu masih kurang. Kamu punya ide?”, tanya Mujahid pada istrinya.

“Ibu ada kebun yang tidak terlalu produktif, Saya akan coba untuk bicara. Mudah-mudahan tidak keberatan”, jawab Nur.

Nur Jannah menunggu waktu yang tepat untuk menyampaikan maksudnya pada Ibunya. Suatu malam saat berbincang-bincang tentang berbagai hal, sampailah Mereka pada pembicaraan tentang rencana membangun masa depan keluarga.

“Bu, Mas Jahid kelihatannya punya rencana bagus, tapi Ia kurang modal”, katanya pelan sambil melihat respon Ibunya.

“Bagaimana rencananya?”, tampak wajah si Ibu bersemangat.

“Begini, Bu. Setelah bertemu Bang Hafiz, Ia berencana untuk menyewa sebidang tanah di Denpasar. Di atas tanah itu akan dibangun empat ruangan. Katanya ruangan yang paling depan akan dibuat wartel, di sebelahnya untuk tempat tinggal, dan dua lagi akan disewakan untuk kost-kostan”, kata Nur sambil terus memerhatikan wajah ibunya.

“Wah ide yang bagus, Nak”, jawab sang Ibu dengan nada penuh dukungan.

“Tapi, Bu. Hm…”, Nur tidak melanjutkan.

“Memangnya ada apa, Nak?”, tanya Bu Syukri.

“Modal yang dimiliki Mas Jahid tidak banyak”. Nada suara Nur begitu menghiba.

“Bagini saja, Nak. Kita kan masih punya kebun warisan Almarhum ayahmu. Sebetulnya sudah lama mau dibeli Haji Murad untuk digunakan sebagai gudang penyimpanan beras. Kalau Kamu setuju, Kita jual saja dan uangnya bisa Kamu gunakan”, kata si Ibu.

“Terserah Ibu saja”, dengan nada datar Nur berusaha menyembunyikan rasa gembiranya.

Mujahid lalu kembali ke Denpasar dengan membawa uang yang terkumpul dari bantuan Ibunya dan Ibu mertuanya. Di Denpasar Ia menyewa sebuah tanah seluas seratus lima puluh meter persegi. Di atas tanah inilah kemudian didirikan bangunan sederhana dengan dinding batako dan atap asbes. Bagian depannya dijadikan wartel dengan tiga pesawat telepon. Tidak butuh lama, wartelnya sudah mulai ramai dikunjungi orang. Dua kamar yang letaknya di bagian belakang sudah ada pula yang menyewa. Mujahid lalu melengkapi kamarnya sendiri dengan tempat tidur dan kursi tamu sederhana. Ia juga membeli kompor, dan berbagai perlengkapan dapur sesuai keperluan. Setelah semuanya dirasa cukup barulah Ia pulang ke Lamongan untuk menjemput Nur.

Kehidupan keluarganya berjalan normal. Satu per satu anak yang merupakan buah dari perkawinannya lahir. Sebagai keluarga sederhana Ia merasa cukup bahagia. Setiap tahun menjelang Idul Fitri, mereka selalu mudik dan merayakan Lebaran bersama keluarga di kampung halaman.

(Bersambung….)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *