Cerita Prof. Dr. Moh. Mahfud MD Tentang Penegakan Hukum di Jepang

Tentang Penegakan Hukum di Jepang
Prof. Dr. Moh. Mahfud MD
banner 400x400

Belum lagi ada cerita-cerita bahwa calon pengacara yang magang (latihan mencari pengalaman) kepada pengacara senior justru tugas pertamanya adalah disuruh mengantar uang kepada hakim, jaksa, atau polisi dan yang bersangkutan harus memastikan penyerahan suap itu aman adanya.

Begitu juga takkan bisa keluar jawaban dari mulut saya kalau ditanya apakah di Indonesia ada jaksa atau polisi yang dihukum karena penyuapan dan rekayasa perkara? Akan malu saya sebagai anak bangsa jika menjawab itu dengan jujur tetapi akan berdosa saya sebagai muslim jika saya menjawab dengan berbohong. Kita memang mempunyai budaya sendiri sebagai bangsa, tetapi tidak salahkah kalau dalam soal berhukum kita meniru Jepang.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Awal 2014, selepas menjadi ketua MK, saya diundang menjadi tamu oleh Kementerian Luar Negeri Jepang di Tokyo. Saat saya tiba di sana, sedang gencar berita dan kampanye untuk pemilihan gubernur Tokyo.

Apa ada penggantian gubernur? Ya, tetapi bukan berdasar jadwal normal, melainkan karena Gubernur Inosi, pejabat yang definitif, mengundurkan diri.

Mengapa mengundurkan diri? Karena sang gubernur diberitakan meminjam uang tanpa jaminan ke sebuah rumah sakit besar dan oleh pers itu dicurigai untuk mendanai kampanye politiknya. Karena pinjaman itu tanpa jaminan, pers menduga Inosi nanti akan memberikan imbalan dalam bentuk, mungkin, korupsi politik

Jadi, sang gubernur mengundurkan diri karena malu saat dicurigai akan (baru dicurigai: akan) menggunakan jabatannya untuk melakukan korupsi politik. Eloknya lagi, sekitar seminggu setelah saya pulang dari Jepang awal 2014 itu seorang pegawai dari Kedutaan Besar Jepang di Jakarta datang kepada saya mengantarkan uang Rp120.000 (seratus dua puluh ribu rupiah). Untuk apa?

“Waktu check in untuk kembali ke Indonesia kemarin, di bandara, Bapak membayar airport tax sendiri. Bapak tamu pemerintah, jadi harus kami yang menanggung semua,” jawab pegawai dari Kedubes Jepang itu.

Wuih, saya sudah diundang ke Jepang dengan fasilitas mewah, soal uang seratus dua puluh ribu rupiah pun masih diantarkan kepada saya. “Duh, kok repot-repot ngantar uang Rp120.000 ke sini? Kalau naik taksi pulang-pergi dari kantor Anda ke sini sudah lebih dari Rp200.000,“ kata saya. Apa jawab petugas itu? “Itu peraturan di kantor kami. Kami harus mematuhi semua peraturan tanpa menambah atau mengurangi,” jawabnya.

Jepang adalah anggota Kelompok Negara G-7, salah satu dari tujuh negara termaju di dunia. Budaya hukumnya sangat indah, peraturan sesederhana apa pun ditaati. Inilah rasanya yang lebih pas menjadi budaya Pancasila.

“Berapa puluh tahun lagi kita bisa berhukum seperti itu, Prof?” kata Uceng saat kami keluar dari jamuan makan siang Selasa lalu itu. “Nanti diskusikan di Jakarta saja,” jawab saya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *