Novel Muhammad Najib, “Bersujud Diatas Bara” (Seri-33): Menjalani Hidup Di Penjara

Menjalani Hidup Di Penjara
Muhammad Najib, Dubes RI Untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO
banner 400x400

“Oh, inikah angin surga itu?”, tanya Mujahid dalam hati.

“Ah, ini kan angin dan udara yang biasa Aku hirup, hanya saja kini Allah memberikan cara pandang yang berbeda dalam diriku, hingga Aku bisa lebih menikmati dan mensyukurinya”.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Kedua petugas itu mengapit tangan Kiri dan Kanan Mujahid yang tetap dibelenggu dengan gelang besi yang dikunci. Ia digiring mendekati gerbang penjara Gerabakan. Seorang sipir penjara berseragam coklat muda kehijauan membuka gerbang itu. Petugas itu terus menggiringnya memasuki pintu dalam. Seorang petugas lain menyambutnya, kemudian mengantar ke kamar 117. Mujahid dipersilahkan masuk ke sel itu, setelah borgol yang mengikat tangannya di lepas. Pintu sel itu kemudian dikunci kembali.

Mujahid menatap setiap sudut istana barunya itu. “Apakah Aku benar-benar akan menghabiskan usiaku selama dua puluh tahun di tempat ini?”, tanyanya dalam hati penuh kepasrahan. Dinding-dinding sel itu sudah kusam. Langit-langit di atas kepalanya membentuk pulau-pulau, menyisakan tanda-tanda bocor hampir di semua sudutnya. Dan kamar mandi tak berdaun pintu. Ia melongokkan kepalanya ke kamar mandi itu, dIsambut bau pesing bercampur bau tak sedap dari lubang WC. Dengan reflek dia menutup lubang hidung dengan tangan Kirinya. “Aku harus cepat beradaptasi”, bisiknya dalam hati sembari melepas secara perlahan tangan yang menutup hidungnya.

“Karena tidak mungkin untuk mengubah keadaan, maka Aku harus mengubah cara pandangku terhadap kenyataan di sekelilingku. Bantal tipis dan kumal harus Aku lihat sebagai bantal empuk yang berbau wangi. Tikar plastik tipis harus Aku bayangkan sebagai permadani Persia yang nyaman dan indah. Bukankah orang-orang yang sakit encok lebih tersiksa walau duduk di atas kursi empuk? Bukankah orang yang terserang penyakit mengi (asma) akan lebih sakit walau berada di taman bunga yang menebarkan bau semerbak? Alhamdulillah, Aku lebih beruntung dari mereka”.

“Ini handuk dan pakaian seragam yang mesti Bapak kenakan”, sapa seorang petugas dengan menyodorkan baju lengan pendek dan celana kotong dari sela-sela jeruji jendela kamar. Suara itu memecah lamunan Mujahid. Dengan senyum ramah Mujahid mengulurkan kedua tangan untuk menerima pemberian itu.

“Wahai pakaian kebesaranku, belum tentu hina orang yang mengenakanmu. Boleh jadi justru kemuliaan yang ada, walau orang sering terlambat menyadarinya. Atau mungkin saja orang baru akan mengenangnya setelah si empunya lama pergi meninggalkan dunia ini”, bisiknya kepada diri sendiri sambil mencium lembut baju itu.

Dikenakannya baju seragam itu menggantikan pakaian sebelumnya yang Ia kenakan. Sementara handuk digantungkan di paku besar di dinding di atas tempat tidurnya

(Bersambung…..)