Novel Muhammad Najib, “Bersujud Diatas Bara”(Seri-41): Kuliah Politik

Kuliah Politik
Muhammad Najib
banner 400x400

“Yang paling mencurigakan, Ia selalu menawari teman-teman untuk menelpon tanpa mau menerima imbalan. Sementara, fasilitas serupa tidak diberikan kepada tahanan-tahanan kasus kriminal. Bukan mustahil pembicaraan kita disadap”, jawab Imam mantap.

Mujahid terdiam, kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sekadar untuk menyenangkan rekannya itu. Ia menganggap Imam seringkali mendramatisir suatu peristiwa atau berlebihan dalam menganalisa keadaan.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

“O ya, kalau tidak keberatan Ana juga ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi, hingga Kita sampai berada di tempat ini?”, tanya Mujahid memindahkan topik pembicaraan. Tampaknya cukup lama pertanyaan ini dipendamnya. Ia berniat untuk menanyakan kepada Imam, tapi waktu yang dianggap tepat tak kunjung datang.

“Maksudnya?”, tanya Imam tak paham.

“Setelah kembali dari Afghan, Ana tidak lagi mengikuti perkembangan. Praktis putus komunikasi dengan kawankawan”.

“Begini”, jawab Imam dengan suara pelan sambil memperbaiki posisi duduknya tanpa menoleh.

“Sebelum menjawab pertanyaan itu, Ana akan jelaskan dahulu”, tampak wajah Imam sangat bergairah.

“Saat Amerika membantu saudara-saudara Kita memerangi Uni Soviet di Afghanistan, ternyata tidak seperti yang Kita bayangkan dahulu”.

“Maksudnya?”.

“Kita mengira Amerika dan sekutunya membantu para Mujahidin semata-mata karena tidak ingin pesaingnya Uni Soviet menjadi lebih kuat dengan menduduki sekaligus mengendalikan Afghanistan, sehingga membahayakan posisi blok Kapitalis yang dipimpinnya. Walau Kita memiliki alasan berbeda, tapi Kita punya tujuan paralel, yaitu mengusir Komunis dari negara-negara Muslim, sehingga Kita bisa berkoalisi dengan mereka. Tapi ternyata mereka punya motivasi lebih dari itu”.

“Apa yang Antum maksud motivasi lebih dari itu?”.

“Para penguasa Amerika berambisi membangun imperium yang kekuasaannya melingkupi seluruh dunia ini. Karena itu tidak boleh ada kekuasaan lain yang berpotensi untuk mengganggu ambisinya itu. Sebenarnya ia juga menempatkan Umat Islam sebagai penghalang atas ambisinya itu, tapi mereka tidak mungkin menghabisi dua lawan sekaligus. Itu sebabnya, ia meminjam dulu tangan Kita untuk menaklukkan lawan beratnya yang saat itu menjadi prioritas. Setelah Uni Soviet bubar, kini giliran dunia Islam yang menjadi target”.

“Apakah sesadis itu?”, tanya Mujahid dengan nada ragu.

“Antum perlu tahu, Ana punya data valid. Tahun 1986 Kepala CIA, William Casey, memutuskan untuk meningkatkan perang melawan Uni Soviet dengan tiga cara: Pertama, mempersenjatai Mujahidin Afghanistan dengan roket jinjing Stinger dan memberi mereka pendidikan dan bantuan lain untuk keperluan perang gerilya. Kedua, bekerja sama dengan dinas rahasia Pakistan ISI dan dinas rahasia Inggris MI-6, untuk melakukan operasi-operasi rahasia. Ketiga, CIA bersama ISI melakukan
rekrutmen pejuang-pejuang jihad dari seluruh dunia Islam dengan dukungan dana Saudi Arabia, kemudian melatihnya di kamp-kamp yang dibuat di sepanjang perbatasan Pakistan-Afghanistan. Pejuang-pejuang dari Timur-Tengah menyebut kamp-kamp ini dengan nama markaz atau mu’asykar. Markaz berarti markas atau pusat komando, sedangkan mu’asykar berarti tempat latihan kemiliteran atau tempat menjadi tentara. Sampai tahun 1992, setidaknya ada sekitar 35.000 pejuang yang datang dari 43 negara Islam yang kemudian menjadi bagian dari Mujahidin Afghanistan. Dalam konteks mendatangkan para pejuang dari Dunia Arab inilah Osama bin Laden sangat berjasa. Ia menjadi figur yang menghubungkan kepentingan Saudi Arabia dan Amerika. Ia dinilai sangat sukses menjalankan tugasnya. Sementara puluhan ribu lagi difasilitasi untuk mendapatkan pendidikan di sekolahsekolah agama di Pakistan yang dalam bahasa setempat disebut madrasah atau Ma’had. Secara politik madrasah atau Ma’had mendukung perjuangan Afghanistan melawan Uni Soviet. Lewat guru-guru mereka, santri-santri ini setiap saat dapat menjelma menjadi milisi. Dan secara keseluruhan jumlahnya melebihi 100.000 orang. Uni Soviet kemudian terperangkap di Afghanistan. Mereka harus menelan kekalahan memalukan. Bahkan, akibat lebih jauh dapat dikatakan bahwa Afghanistan menjadi penyebab utama bubarnya Uni Soviet, di samping tentunya persoalan ekonomi dan kerusakan moral para pimpinan di semua tingkatan. Setelah hanya tinggal Rusia yang tak bergigi lagi, giliran dunia Islam harus dilumpuhkan. Para Mujahidin yang dulu direkrut, dibina, kemudian bahu-membahu memrangi Uni Soviet, kini diburu dengan tuduhan teroris. Begitu juga Osama yang tadinya dianggap pahlawan berubah menjadi target operasi.

Sejak awal Ana sudah curiga bahwa Amerika tidak akan berhenti hanya menaklukkan Afghanistan. Kini kecurigaan itu menjadi nyata. Irak menjadi sasaran berikutnya. Jika urusan dengan Irak dianggap selesai, maka yang menjadi giliran berikutnya adalah Suriah, Iran, atau Sudan. Rencana itu tertunda karena mereka kewalahan menghadapi para pejuang Irak yang ingin mengusir para penjajah dari tanah airnya. Hal yang sama sekali tidak diperhitungkan dan tidak mereka duga. Mereka mengira menaklukan Irak semudah mereka menaklukan Afghanistan. Amerika selalu mencaricari pembenar atas tindakan-tindakannya yang melanggar norma-norma yang disepakati dunia internasional. Afghanistan diserang katanya untuk mengejar Osama bin Laden dengan al-Qaedanya. Irak harus dilumpuhkan karena senjata pemusnah massal yang tidak terbukti. Lalu, sekarang Iran dibidik dengan tuduhan mau membuat senjata nuklir. Sedangkan Suriah dituduh mendukung para teroris Irak. Sementara pemerintah Sudan di Khartoum dipojokkan dengan tuduhan tidak bisa mengendalikan milisi yang menindas penduduk minoritas di sana”.

“Bukankah benar Iran sedang membangun reaktor nuklir?”, Mujahid menyela.

Imam menghela nafas, kemudian menjawab, “Mereka sedang mengembangkan teknologi nuklir untuk keperluan pembangkit listrik, pengembangan pertanian dan peternakan, serta pengobatan manusia. Jangan lupa, Iran menandatangani perjanjian Non Proliferation Treaty yang sering disingkat NPT, yaitu sebuah perjanjian untuk negara-negara yang mengembangkan teknologi nuklir untuk tujuan damai. Mereka diawasi secara ketat oleh sebuah badan di bawah PBB yang disebut IAEA sehingga kemampuannya tidak dibelokkan untuk membuat senjata. Kalaupun benar Iran punya maksud tersembunyi untuk tujuan pembuatan senjata, mereka memerlukan waktu lama. Sementara Israel yang jauh lebih maju, bahkan menurut Mordechai Vanunu, salah seorang ahli nuklir Israel yang mbalelo karena panggilan hati nurani, Negara
Zionis ini sudah memiliki lebih dari seratus bom nuklir yang siap digunakan setiap saat. Kenapa tidak pernah dipersoalkan! Bahkan, Amerika selalu menggunakan hak vetonya untuk mencegah masalah ini dibawa ke PBB. Sungguh sebuah ketidakadilan yang dipertontonkan tanp rasa malu. Amerika sendiri menimbun berbagai senjata pemusnah massal termasuk bom nuklir yang jumlahnya lebih besar dari negara mana pun. Bahkan, sampai saat ini Amerika terus mengembangkan senjata pemusnah massalnya. Kalau Amerika konsisten, mestinya mereka menghancurkan lebih dahulu senjata nuklir dan senjata pemusnah massal miliknya, baru kemudian melarang negara lain untuk memilikinya.”

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *