“Berarti kiai boleh kaya, dan sejak saat itu ada gerakan kiai kudu sugih (harus kaya). Cuma ada yang kesampaian, ada yang tidak (kesampaian),” terang Gus Baha.
Kebolehan bahkan keharusan orang alim kaya, juga diqiyaskan kepada kekuasaan. Maka paradigmanya sama, yakni kekuasaan harus dipegang orang-orang saleh. Sebab jika kekuasaan jatuh ke tangan orang fasik, bisa menimbulkan bahaya.
Pada kesempatan tersebut, Gus Baha menjelaskan bagaimana ulama dan kiai saat ini juga cenderung mendukung calon pada pemilihan kepala daerah. Bahkan tidak sedikit kiai yang juga maju sebagai calon.
Kondisi tersebut tidak bisa dipisahkan dengan suratan sejarah yang memang ‘memaksa’ para wali dan tokoh agama Islam untuk memiliki wilayah kekuasaan politik.
“Maka banyaklah kiai menjadi bupati, dan sebagainya,” pungkasnya.
Sebelumnya, Gus Baha juga mengisi kajian di Ma’had Aly pesantren setempat. Dan tampil pula KH Musleh Adnan dari Pamekasan memberikan mauidlah hasanah.