Perebutan Kekuasaan: Megawati-Mahfud Vs Jokowi-Luhut

Megawati-Mahfud Vs Jokowi-Luhut
Megawati-Mahfud Vs Jokowi-Luhut

Ajaib, Jokowi yang sering menyerukan para pembantunya untuk berhemat, buta terhadap korupsi dan pencucian uang di kementerian keuangan yang begitu telanjang. Padahal, selaku presiden, Jokowi harus bertanggung jawab terhadap skandal ini. Bukan mustahil skandal ini melibatkan orang dalam. Toh, beberapa waktu lalu, Luhut memprotes KPK yang masih juga melakukan OTT. Tidak baik untuk citra negara, katanya.

Pada era pemerintahan SBY (2004-2009), SMI adalah Menteri Keuangan dan pada era ini juga terjadi skandal
BLBI dan Bank Century. Hubungan Mega-SBY tak harmonis sejak SBY mengalahkannya dalam pilpres 2004.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Maka, sepanjang dua periode presidensi SBY, PDI-P menjadi partai oposisi yang sangat kritis terhadap kebijakan pemerintah, ternasuk kasus BLBI dan Bank Century yang ditangani SMI.

Sehari setelah skandal kementerian keuangan meledak, Jokowi dan SMI “kabur” ke Solo. Aneh, peristiwa terjadi di Jakarta, sementara presiden dan menterinya menyidak kantor pajak di Solo.

Tujuannya memberi pesan ke publik bahwa mereka “peduli” pada kasus itu. SMI bilang ia tak tahu apa-apa tentang transaksi yang mencurigakan itu. Tapi drama di Solo dan pengakuan SMI justru menguatkan dugaan ada tangan-tangan kekuasaan dalam kasus skandal itu. Terlebih, Jokowi tidak marah pada menteri kesayangannya itu. Padahal, Jokowi terbiasa melempar tanggung jawab kepada pembantunya untuk menjaga citranya sebagai pemimpin sederhana, bersih, dan kerakyatan.

Sekembali dari Solo, SMI tak dapat menyembunyikan kekecewaannya pada Mahfud. Sementara Jokowi, terlebih Luhut yang biasa tampil di depan seperti pendekar sakti tiap kali pemerintah menghadapi kesulitan, justru diam seribu bahasa.

Anehnya, mereka tak menegur, apalagi menghentikan Mahfud, yang terus saja memperlebar kasus ini. Tak berkutiknya Jokowi dan Luhut hanya mungkin terjadi karena ada beking Mega terhadap Mahfud.

Penolakan Jokowi terhadap reshuffle kabinet, yang berarti mencopot Mahfud dan SMI, nampaknya berdasarkan pada pertimbangan berikut. Pertama, tak mau bermasalah lebih jauh dengan Mega yang akan semakin menghancurkan basis pendukung Jokowi.

Kedua, Mahfud punya banyak info sensitif terkait kebobrokan pemmerintahan Jokowi. Ketiga, pemecatan akan membuat populeritas Mahfud kian melejit, yang memang diharapkan PDI-P untuk keperluan pilpres mendatang. Nampaknya, Mahfud akan dipasangkan dengan Puan Maharani sebagai bakal capres.

Terkait SMI, mestinya Jokowi memecat menteri keuangan itu untuk mencuci tangan dan mengembalikan kepercayaan publik. Fakta bahwa ia tidak melakukan itu mungkin karena SMI hanya menjalankan apa yang diminta istana. Memecatnya sama artinya membuka kotak pandora istana.

Dus, skandal ini merupakan upaya Mega-Mahfud untuk menghancurkan skenario penundaan pemilu. Dan nampaknya mereka berhasil. Tidak mungkin lagi pemerintahan Jokowi yang telah kehilangan keteladanan, bisa mewujudkan wacana itu.

Kehendak memperpanjang masa jabatan presiden didasarkan pada pertimbangan berikut. Bila pilpres diselenggarakan secara jujur dan adil, serta sesuai jadwal, maka Anies Baswedan sebagai antitesa Jokowi berpeluang untuk menang. Ia kini telah menjadi ikon pro-perubahan.

Bakal capres yang dianggap sebagai kompetitor serius Anies hanyalah Ganjar Pranowo. Sayangnya, Mega tak bakal mengusungnya, meskipun dia adalah kader PDI-P, karena hanya dilihat sebagai pion istana.

Luhut adalah musuh besar Mega. Kendati tak berjasa bagi kemenangan Jokowi dalam dua pilpres, kekuasaan Luhut di pemerintahan sungguh luar biasa. Jokowi bahkan terlihat hanya sebagai bonekanya. Maka bila ambisi memperpanjang kekuasaan pemerintahan Jokowi terwujud, sama artinya dengan memperpanjang kekuasaan Luhut. Sementara PDI-P akan dikecam publik karena mendukung skenario Luhut.

Karena gagasan itu kini terkubur, sementara istana ingin program pembangunannya dilanjutkan pemerintahan berikut — serta juga kebobrokan pemerintahan Jokowi-Luhut tersimpan rapat dan kepentingan mereka terjaga — maka mereka membentuk bakal capres-cawapres baru. Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra dipasangkan dengan Ganjar sebagai bakal cawapres.

Maka kita menyaksikan manuver baru Jokowi untuk menjawab realitas politik yang berubah. Setelah di Solo, Jokowi membawa Prabowo dan Ganjar ke Kebumen untuk acara panen raya petani pada 9 Maret. Inilah untuk pertama kalinya Prabowo dan Ganjar tampil bersama. Di sana ketiga tokoh berfoto ria.

Sekembali dari Kebumen, Prabowo menyatakan membuka peluang berpasangan dengan Ganjar sebagai bakal cawapres. Untuk menegaskan kedekatan Prabowo dengan Jokowi, bobot Prabowo, dan memastikan Prabowo-Ganjar akan melanjutkan program pembangunan Jokowi-Luhut, Hashim Djojohadikysumo (Wakil Ketua Dewan Pembina sekaligus adik kandung Prabowo) menyatakan 99 persen program pembangunan pemerintahan Jokowi — yang sesungguhnya dirancang Luhut — sejak 2014 berasal dari Prabowo.

Pernyataan Hashim tentu saja tidak masuk akal. Tapi itu penting untuk menarik pemilih Jokowi-Ma’ruf Amin ke pasangan Prabowo Ganjar. Menurut hasil survey Litbang Kompas pada Januari lalu, pemilih Jokowi-Ma’ruf dlm pilpres 2019, sekitar 30 persen akan memberikan suaranya pada Ganjar, 15 persen pada Prabowo, dan 10 persen kepada Anies.

Indikasi kuat bahwa Jokowi mendukung Prabowo-Ganjar, terlihat dari deklarasi Jokowi Mania (Joman) mendukung Prabowo. Realitas ini menunjukkan Gerindra telah sampai pada kesimpulan bahwa berkoalisi dengan PDI-P dengan Prabowo sebagai bakal capres tidak akan terwujud.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *