Mustafa Al-Siba’i (dlm kitab Hikmah Al-Shoum wa Falsafatuhu) menyebuntukan, bahwa shoimun (orang-orang berpuasa) yang benar akan memperbaiki apa-apa yang telah rusak, memperbaharui yang telah usang, bahkan sanggup mengobati segala sesuatu yang sakit. Karena “kekuatan mereka telah menyatu dengan kekuatan Tuhan,” katanya.
Kalau boleh dibuatkan umpama untuk dicontoh, puasa yang bisa mengubah adalah puasa ULAT, bukan puasa ULAR yang tidak membawa perubahan. Biar “kembali muda”, ULAR harus puasa yang disusul proses ganti kulit dengan yang baru. Setelah itu? Tidak ada yang berubah. Namanya tetap ular. Tampang dan bentuknya seperti dulu. Cara jalannya masih sama. Makanannya kayak itu-itu saja. Bahkan, sifat dan kelakuannya tak berubah: bila mematuk bisa bikin kita celaka. Berbeda nih dengan ULAT. Biar “sakti mandraguna” (istilah puasanya: “menjadi orang berTAKWA”), ulat harus puasa 40 hari (kayak hitungan shalat arba’in, hadis-hadis arbain, haji 40 hari).
Segera saja terjadi perubahan-perubahan signifikan pada tubuhnya: terstruktur, sistematis, dan massif. Di tengah-tengah TAPAnya, namanya segera berubah jadi kepompong. Usai puasa, julukannya jadi kupu-kupu. Tampang dan bentuknya kini lebih cantik. Cara jalannya dulu merayap, sekarang terbang. Pilihan makanannya dari daun pindah ke madu. Sifat dan kelakuannya? Subhanallaaaaah. Dia hobi membantu penyerbukan untuk proses pembuahan paling sempurna pada bunga yang manfaatnya dapat dipetik dan dirasakan berbagai kalangan. Duuuuuuh….. indahnya. Duuuuuuuh cantiknya.
Lukisan berubah warna tambah artistik. Ulat berubah jadi kupu-kupu semakin cantik. Dengan puasa, mukmin jadi orang berTAKWA. Benar-benar asyiiiiiiiiik. Sungguh asyik.