Datang dan Perginya Seorang Wali

Datang dan Perginya Seorang Wali
ilustrasi: Wali Allah
banner 400x400

Namun tawa kami seketika terhenti ketika sesaat kemudian kami mendengar suara azan yang sangat merdu dari speaker masjid pesantren kami. Kami tahu, azan yang kami dengar saat itu luar biasa indah, sehingga kami tidak menyadari bahwa selama beberapa saat kami terkesima dan sejenak benar-benar melupakan perdebatan konyol antara dua orang yang sedang berebut microphone yang kami dengarkan dan kami tertawakan sesaat sebelumnya. Suara azan yang semerdu dan semenyejukkan itu tidak pernah kami dengar sebelumnya.

Lelaki tua itu mengambil-alih tugas muadzin masjid pesantren pada waktu-waktu shalat berikutnya. Para pengurus masjid pesantren kini tidak lagi menghalangi ketika lelaki tua itu hendak azan, sebaliknya malah mempersilakan lelaki tua itu untuk mengumandangkan azan di setiap waktu shalat. Maka pada hari-hari berikutnya, hari-hari kami di pesantren dihiasi oleh suara merdu lelaki tua itu.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Meski suara merdunya ketika sedang azan mampu menyejukkan hati dan telinga, bukan berarti tingkah ganjil lelaki tua itu tidak membuat para santri merasa jengkel bahkan marah. Suatu ketika, salah seorang santri bertengkar mulut dengan lelaki tua itu sebab lelaki itu mengambil baju dan sarungnya yang sedang dijemur. Asrama-asrama santri memang tidak jauh dari masjid, sehingga jemuran pakaian santri dapat terlihat dari emperan masjid. Lelaki tua itu, tanpa merasa bersalah, dengan seenaknya mengambil dan memakai baju dan sarung kawan kami seakan-akan adalah miliknya sendiri.

Bukan hanya baju dan sarung, bahkan jatah makan santri pun tidak jarang diambil dan dimakan oleh lelaki tua itu. Di pesantren kami, para santri diberi jatah sarapan berupa nasi bungkus yang dibagikan per kamar dan disesuaikan dengan jumlah anggota masing-masing kamar. Jika ada satu bungkus saja jatah sarapan diambil oleh lelaki tua itu, maka dapat dipastikan akan terjadi keributan kecil di kalangan para santri yang saling berdebat tentang siapa yang harus mengalah mengikhlaskan jatah sarapannya untuk dimakan lelaki tua itu. Masalahnya, bukan hanya satu bungkus yang diambil oleh lelaki tua itu, tidak jarang ia mengambil dua hingga tiga bungkus jatah sarapan santri, sehingga wajar jika banyak santri yang merasa kesal.

Semakin hari, tingkah ganjil lelaki tua itu makin menjadi-jadi. Bukan hanya mengambil pakaian yang sedang dijemur, lelaki tua itu bahkan mengambil bantal dan kasur santri yang sedang dijemur dan memindahkannya ke salah satu sisi teras masjid dan dijadikan sebagai tempat tidurnya. Namun, tidak satu pun Ustadz kami yang berani mengambil tindakan tegas pada lelaki tua itu, antara segan karena dari segi usia lelaki itu tentu jauh lebih tua dibandingkan dengan Ustadz-ustadz kami, juga mungkin tidak enak hati sebab suara lelaki tua itu ketika azan dan mengaji sangatlah merdu. Namun di sisi lain, Ustadz-ustadz kami juga harus mengambil tindakan sebab tingkah ganjil lelaki tua itu sudah menimbulkan keresahan di kalangan santri.

Keresahan dan keluhan para santri yang timbul karena disebabkan oleh lelaki tua itu membuat para Ustadz akhirnya menghadap kepada Kiai Jazuli, pengasuh pesantren kami. Namun jawaban Kiai Jazuli justru malah membuat sikap para Ustadz terhadap lelaki tua itu semakin lunak. Kiai Jazuli dawuh bahwa lelaki tua jangan sampai disakiti, para santri harus belajar sabar menghadapi tingkah ganjil lelaki tua itu, sebab lelaki tua itu merupakan tamu yang harus dihormati dan dimuliakan. Lebih jauh, Kiai Jazuli juga mengingatkan bahwa lelaki tua itu merupakan amanat yang dititipkan ‘seseorang’ kepada beliau, sehingga sudah sepatutnya diperlakukan dengan baik.

Dawuh Kiai Jazuli di hadapan para Ustadz, yang kemudian diteruskan kepada para santri, membuat desas-desus seputar asal-usul lelaki tua itu mulai merebak. Ada yang mengatakan, bahwa lelaki tua itu dulunya merupakan santri Mbah Kiai Karnawi, sang pendiri pesantren ini. Ada pula yang mengatakan bahwa lelaki tua itu dulunya merupakan guru mengaji yang menjadi kurang waras sebab gagal naik haji setelah ditipu oleh agen travel haji. Versi ini mungkin mendapatkan pembenaran, sebab faktanya lelaki tua itu mengajinya sangat fasih dan suaranya sangat merdu. Namun desas-desus yang terus bermunculan, justru semakin mengaburkan tentang siapa sebenarnya lelaki tua itu dan dari mana ia berasal. Setiap lelaki tua itu kami tanyai mengenai nama dan asal-usulnya, ia selalu enggan menjawab dan bahkan seringkali marah.

Yang benar-benar kami tahu mengenai lelaki tua itu adalah, di luar kebiasaan ganjilnya yang sering membuat kesal para santri, lelaki tua memiliki suara yang sangat merdu. Lelaki tua itu memang sering bertingkah aneh, namun setiap menjelang memasuki waktu shalat, lelaki tua itu sudah rapi dan selalu bersiap untuk mengumandangkan azan. Perilaku ganjilnya seakan tak membekas ketika lelaki tua itu sedang mengumandangkan azan atau ketika sedang mengaji. Ketika azan, suaranya sangat lembut, merdu, dan seakan mampu merasuk ke kedalaman batin setiap pendengarnya. Dan ketika mengaji menjelang waktu maghrib, suaranya sangat merdu. Ayat-ayat suci yang terlantun dari bibirnya seakan mampu membawa kesejukan. Setiap mendengar lelaki tua itu mengaji, entah kenapa kami merasa malu bahwa sebagai santri, kami belum mampu mengaji sefasih dan semerdu lelaki tua itu.

Lambat-laun, kami mulai belajar membiasakan diri dengan tingkah ganjil lelaki tua itu, bahkan mengenali kebiasaannya. Rutinitasnya sehari-hari hanya dilakukan di sekitar masjid. Pagi hari ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berjalan-jalan atau duduk di sekitar masjid, sementara jika malam hari, lelaki tua itu lebih sering menghabiskan waktunya dengan mengaji di makam Mbah Kiai Karnawi. Di luar itu, lelaki tua itu lebih sering menyendiri dan jarang sekali berbicara.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *