Prof Haedar Nashir : Islam Sebagai Agama yang Mencerahkan Menghadapi Tren Ateisme dan Puritanisme

Hajinews.id – Tren ateisme semakin berkembang dari tahun ke tahun. Pada 2013, sekitar 8 persen populasi di Timur Tengah menganggap diri mereka ateis. Pada 2019, tren ini naik menjadi 13 persen.

Menurut Prof Haedar Nashir fenomena ini menggambarkan dua hal: proses islamisasi melalui kekuasaan sehingga melahirkan resistensi dan kelompok dakwah Islam tidak hadir membawa solusi atas keresahan teologis anak-anak muda di sana.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

“Temuan-temuan ini mengkonfirmasi Kehebohan di dunia medsos pada tahun 2021 ketika Walid al Huseini mengaku Tuhan, tetapi ini sebagai satire dan mempropagandakan ateisme di Timur Tengah,” ucap Haedar dalam Pengajian Ramadhan 1444 H Universitas Muhammadiyah Yogyakarta  pada Selasa (04/04).

Sementara dalam kasusnya di Indonesia, kata Haedar, pada tahun 2002 ada sekitar 1% dari populasi Tanah Air mengaku ateis. Tren ateisme ini semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada saat yang bersamaan, berkat dukungan internet tren puritanisme kembali naik daun. Aliran puritanisme ini membuat jarak antara keislaman dan keindonesiaan. Dua tren yang saling bertolak belakang ini merupakan fenomena nyata di Indonesia hari-hari ini.

Menurut Haedar, satu sisi Islam perlu memenuhi kehausan spiritual, dan pada sisi lain, Islam selalu ditampilkan secara verbalistik, pendekatan yang serba bayani, dan pemahaman keagamaan yang semakin rigid. Muhammadiyah memiliki peluang dan ditantang untuk hadir membawa wacana Islam yang memajukan kehidupan, pada saat yang sama, Muhammadiyah dituntut untuk menghadirkan nilai-nilai ajaran agama yang mencerahkan kehidupan.

Menurut Haedar, modernisme Barat lahir akibat trauma terhadap Agama. Kala itu, gereja memiliki kontrol penuh terhadap kehidupan ekonomi, politik dan bernegara, sehingga siapapun yang bertentangan atau menentang gereja akan disingkirkan. Hal inilah yang kemudian mendorong lahirnya semangat humanisme-sekular dan menempatkan agama pada aspek ritual dan pribadi semata. Para raksasa pemikir Barat seperti Max Weber, Friedrich Nietzsche, Karl Marx berasal dari keluarga religius yang kemudian menjadi pengkritik utama kaum beragama.

Pengajian Ramadan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Dari pengalaman Barat inilah Haedar kemudian mengajukan proposal Islam sebagai agama yang mencerahkan. Pertama, Islam sebagai agama fitrah dan otentik. Fitrah berarti bahwa pada dasarnya semua manusia itu beragama dan memiliki kecenderungan bertuhan. Sehingga, setiap orang sebelum dilahirkan ke dunia pada dasarnya bertuhan, sekalipun mereka yang kemudian memutuskan untuk menjadi ateis.

“Apa yang diperlukan oleh kita ialah bagaimana bisa beradaptasi dengan manusia yang pada dasarnya sudah berjiwa agama. Kalau kita ingin dakwah dengan agama yang mencerahkan, hadirkan agama itu bisa kompatibel dengan fitrahnya,” ucap Haedar.

Kedua, Haedar menyampaikan bahwa perlu kembali menghadirkan agama sebagai sesuatu yang hanif. Mengutip Sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa beragama yang hanif memancarkan khazanah keberagamaan yang al-hanafiyyah as-samhah yakni beragama yang lurus dan mengandung nilai welas asih dan toleran. Menurut Ahmad Ibn Faris, kata Haedar, kata sa-ma-ha berarti membolehkan dan memberikan, sementara sa-mu-ha artinya murah hati, dan sam-hu berarti toleransi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *