Moeldoko, Anies dan Masa Depan Negara

Moeldoko dan Anies
Moeldoko, Anies dan AHY
banner 400x400

Oleh: Agus Wahid

Hajinews.id – Tak menyerah. Itulah sikap Moeldoko yang menunut “keadilan” ke gerbang terakhir institusi penegakan hukum: Mahkamah Agung (MA). Caranya? Mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dengan pintu masuk Keputusan MA November 2021 tentang Kepengurusan Agus Harimurti Yudhoyono yang dinilai cacat secara hukum. Itu haknya selaku warga negara. Dibenarkan secara hukum. Memenuhi standar prosedur. Yang perlu kita catat, upayanya bukanlah sekedar mencari keadilan. Diksi kata keadilan hanyalah topeng. Karenanya, kita perlu membuka topeng itu: apa target sesungguhnya di balik upaya ngotot memenangkan perkara hukumnya?

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Publik secara luas sudah dapat membaca. Langkah Moeldoko sesungguhnya merebut kursi puncak PD. Untuk mengantarkan dirinya menjadi calon presiden RI. Menjadi Ketua Umum PD menjadi jalan pintas untuk mewujudkan mimpinya, tanpa mengukur diri secara introspektif dan membaca topo¬grafi politik nasional, dalam kaitan rivalitas bursa pemimpin yang ada. Juga, sikap publik yang menjadi bagian integral dalam perguliran kontestasi pemilihan presiden.

Namun, prasyarat elektabilitas itu – di mata para elitis dan publik – tampak diabaikan. Pokoknya merebut kursi puncak PD itu. Selanjutnya, kumahe engke. Prinsip ini mengundang spekulasi tentang tujuan utama merebut kursi bergengsi PD itu. Di sini kita mencium aroma tak sedap. Yaitu, langkah Moedoko sejatinya untuk memecah soliditas PD yang memang tak dikehendaki Istana. Dan ini berarti, ada misi khusus Istana yang sangat terkait mekanisme politik nasional pilpres. Bicara kepentingan istana, publik pun paham: oligarki di belakangnya.

Why? Jawabannya dapat dibaca dengan telanjang. Yaitu, upaya menjegal Anies yang memang magnetik di mata partai-partai politik (parpol). Bagi istana, sebenarnya bukan hanya PD yang dibidik. Tapi, seluruh parpol yang terindikasi merekatkan diri bersama Anies dikejar dan diobok-obok. Dengan instrumen hukum, atau menciptakan duri. Beberapa parpol – karena ketua umumnya tersandera kasus hukum – berhasil diinjak: tak berani berkoalisi untuk mengusung seorang Anies sebagai capres. Karena itulah, ketiga parpol yang siap mengusung Anies (PKS, NasDem dan Demokrat) terus dicari celahnya. Istana gagal mempengaruhi PKS dan NasDem untuk tidak mengusung Anies. Infiltrasinya tak mempan. Dan kini PD menjadi bidikan. Harapannya satu: PD terambil oleh Moeldoko. Maka, Anies diambang kegagalan nyapres. Karena, duo parpol (PKS dan NasDem) masih kurang dari presidential threshold (20%). Gabungan kedua parpol itu baru mencapai 17,71%. Kurang 2,29%.

Jika memang Demokrat terlepas, apakah otomatis Anies gagal nyapres? Eit, belum tentu. Karakter para pimpinan parpol sangat pragmatis. Berkoalisi untuk mewujudkan kepentingan pragmatisnya. Sementara, Anies – tak bisa disangkal – adalah kandidat presiden yang memberikan harapan besar untuk memenangkan kontestasi. Magnet Anies inilah yang akan mendorong sejumlah parpol sesungguhnya antri, minimal partai-partai nonseat. Meski prosentasenya kecil, tapi ketika datang di saat krusial, keberadaan parpol ini diperhitungkan. Dalam hal ini parpol-parpol nonseat seperti PBB, Perindo, Hanura berpotensi merapat ke Anies. Landasan kalkulasinya, parpol-parpol nonseat ini akan mendapat perhatian khusus oleh dua pendahulunya: PKS dan NasDem. Sekali lagi, landasan pragmatisme parpol membuka kemungkinan mereka merapat bersama Anies.

Yang perlu kita garis-bawahi, jika seluruh parpol termasuk parpol-parpol nonseat dipagari dengan sejuta instrumen dan Anies gagal nyapres, maka minimal ada tiga hal yang perlu dicatat. Pertama dan utama, Anies hanya senyum. Memahami persoalan dinamika politik. Tapi, rakyat di senatreo Nusantara yang tidak bisa menerima pendzaliman itu. Maka, rakyat akan melawan. Heroisme rakyat akan berkobar untuk membela Anies. Gelora itu di mana-mana, di pusat-pusat kota provinsi dan kabupaten/kota, apalagi ibukota negara (Jakarta). Persebaran aksi people power memper-sulit upaya pertahanan dari bara politik yang menasional. Inilah situasi politik yang harus dibaca oleh Istana dan para kroninya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *