Kisah Abu Nawas: Tahu Warna Angin, Bikin Gubernur Tidak Berhenti Tertawa

Abu Nawas Tahu Warna Angin
Abu Nawas Tahu Warna Angin. Foto: pixabay
banner 400x400

“Pasti gubernur sakit. Dia sudah tidak waras,” ucap Abu Nawas.

“Itulah kenapa kami ke sini, Abu Nawas. Kami mendatangimu agar kau menyelamatkan kawan-kawan kami, sebab rencananya besok mereka akan dihukum mati,” tutur para sastrawan.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

“Baiklah, aku akan ke istana gubernur. Sekarang juga kalian pulanglah,” ucap Abu Nawas.

Sesampainya di sana, Abu Nawas langsung menghadap gubernur. Melihat kehadiran Abu Nawas, gubernur langsung emosi. “Ngapain kau datang ke istanaku,” tanya dia.

“Aku mendengar kabar Anda menyuruh beberapa prajurit menangkapi para sastrawan pintar di kota ini, tapi kenapa aku tidak ditangkap? Aku sangat tersinggung,” jawab Abu Nawas.

“Oh, jadi kau menganggap dirimu bagian dari mereka,” tanya gubernur.

“Tentu saja masyarakat di kota ini tahu siapa aku. Aku adalah sastrawan terpandai di kota ini,” balas Abu Nawas.

“Baiklah, algojo tangkap Abu Nawas dan penggal lehernya,” perintah gubernur.

“Tunggu dulu. Sebelum leherku dipenggal, perintahkan algojomu agar jangan sampai merusak rambutku, sebab aku baru saja keluar dari tukang cukur,” timpal Abu Nawas.

Mendengar itu, gubernur langsung tertawa. “Itulah jiwa kesatria yang aku kagumi darimu. Aku mengampunimu, Abu Nawas,” kata gubernur.

“Bolehkah aku meminta satu permintaan?” tanya Abu Nawas.

“Apa permintaanmu? Katakan saja,” jawab gubernur.

“Aku juga minta pengampunan untuk kawan-kawanku,” pinta Abu Nawas.

Sejenak gubernur terdiam lalu berkata kepada Abu Nawas, “Aku akan mengabulkan permintaanmu, tapi ada syaratnya, kau harus bisa menjawab tiga pertanyaanku.”

“Baik gubernur, aku siap menjawabnya,” sahut Abu Nawas.

“Menurutmu, aku gubernur yang adil atau zalim?” tanya dia.

“Tuan bukan gubernur yang adil, bukan pula gubernur yang zalim. Orang-orang yang zalim itu adalah kita, sedangkan tuan adalah pedang keadilan yang membalas kezaliman,” jawab Abu Nawas.

“Luar biasa. Jawabanmu sungguh menakjubkan Abu Nawas,” ujar gubernur.

“Sekarang pertanyaan kedua: Mana yang lebih bermanfaat, matahari atau bulan?” tanya gubernur.

“Matahari terbit di siang hari bersamaan dengan terangnya dunia, maka menurutku matahari kurang bermanfaat. Sementara bulan terbit di waktu malam yang menerangi dunia dan menjadikannya seperti siang, maka menurutku manfaat bulan lebih besar,” jawab Abu Nawas.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *