Sekelumit Aksesoris Religiusitas Politisi di Ramadan

Aksesoris Religiusitas Politisi di Ramadan
Ady Amar

Sebenarnya yang disampaikan Ganjar, itu hal sederhana. Ganjar berkisah bahwa saat mahasiswa dulu, ia punya kenangan pada Masjid UGM. Ia acap berbuka puasa mencari takjil di masjid itu. Jika mencermati apa yang dikisahkannya, itu sebenarnya bukanlah hal sesuatu, hal biasa saja. Tapi menjadi luar biasa, karena Ganjar tidak cermat memakai obyek ngibul pada tempat di mana ia biasa takjil. Masjid UGM yang dikisahkan itu belum ada pada saat Ganjar kuliah, bahkan sampai ia lulus di tahun 1995. Itu kesaksian Refly Harun, pakar Hukum Tata Negara.

Refly membaca twitan Ganjar itu terkekeh. Refly dua tingkat di bawah Ganjar, saat sama-sama kuliah di Fakultas Hukum UGM. Ganjar angkatan 87, dan Refly angkatan 89. Tapi keduanya lulus pada tahun yang sama, 95. Kesaksian Refly itu disampaikan di kanal YouTube nya.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Ngibul Ganjar itu bukan pada persoalan takjilnya, tapi pada Masjid UGM yang ia kisahkan penuh kenangan, utamanya pada bulan Ramadan. Padahal kata Refly, sampai ia lulus tahun 95, lokasi masjid yang disebut Ganjar itu masih berupa tanah kuburàn. Tepatnya, kuburan Cina, yang memang berdekatan dengan Fakultas Hukum. Baru beberapa tahun kemudian Masjid UGM itu berdiri di tanah itu.

Ngibul Ganjar ini seperti tanpa dipikir. Ia ingin menampakkan diri, bahwa sejak mahasiswa pun ia sudah religius. Soboh masjid. Maka dibuatlah kisah kenangan takjil di Masjid UGM. Namun berujung jadi bahan ketawaan yang menyakitkan. Ngibul Ganjar itu pastilah diniatkan menaikkan citra religiusitasnya, justru menemui kegagalan.

Sebenarnya kisah yang dibangun Ganjar, bahwa ia memang sholeh sejak dulu kala, momennya sudah tepat. Tapi ya itu tadi, masjid yang disebutnya itu belum berdiri, masih berupa tanah pekuburan. Ngibul pun tetap dituntut cermat. Ngibul yang dikisahkan dan sekaligus diperankan Ganjar itu menemui kegagalan, bahkan gagal total. Maksud hati berkisah tentang kebaikan diri, tapi hasil yang didapat justru berujung olok-olok menyakitkan.**

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar