Bagaimana Jokowi Mendukung Ganjar, Mencadangkan Prabowo, dan Menolak Anies

Bagaimana Jokowi Mendukung Ganjar
Jokowi dan Ganjar
banner 400x400

Di Pilpres 2024, strategi Jokowi, jikalau Anies tidak berhasil dijegal sebagai capres, maka dia akan berbagi suara kelompok Islam dengan capres Prabowo, maupun Sandiaga yang akan menjadi cawapres Ganjar. Dengan harapan suara merah akan bulat ke Ganjar, dan karenanya lebih mungkin masuk putaran final, dan menang.

Mengapa saya yakin Sandiaga Uno akan menjadi cawapres Ganjar? Tentu saja politik selalu dinamis. Tetapi informasi dan tanda-tanda ke arah pasangan Ganjar-Sandi itu sudah mulai menguat. Di samping strategi Presiden Jokowi untuk memecah suara pemilih Islam tadi, Sandi juga sudah berpamitan dari Partai Gerindra, untuk bergabung dengan PPP. Katanya, karena ada penugasan di tempat lain.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Penugasan itu datang dari Jokowi, bagi Sandiaga—dan sebenarnya juga Erick Tohir—untuk mendekati partai-partai Islam. Sandi ditugaskan masuk ke PPP, lalu membawanya berkoalisi dengan PDI Perjuangan dan menjadi Cawapres Ganjar. Banyak survei menguatkan, pasangan calon Ganjar-Sandi akan sulit untuk ditandingi.

Memang ada juga informasi lain, bahwa Ibu Mega meminta Cawapres Jokowi adalah dari NU yang sepuh. Rupanya beliau nyaman dengan sosok KH Ma’ruf Amin, yang tidak mengganggu dan menjadi kompetitor partai banteng moncong putih. Kita lihat saja dalam waktu dekat, apakah Sandiaga yang mendampingi Ganjar, atau tokoh lain yang lebih NU, Mahfud MD, misalnya.

Persoalan dengan Prof Mahfud adalah, beliau mendapat dukungan luas dan populer di kalangan masyarakat bawah, tetapi ditakuti dan tidak menjadi pilihan di kalangan atas petinggi parpol. Itu pula yang menyebabkan Prof Mahfud gagal menjadi cawapres, meskipun sudah berbaju putih, di detik-detik akhir pengumuman pendamping Jokowi dalam Pilpres 2019.

Strategi kedelapan Jokowi adalah membuka opsi mentersangkakan Anies Baswedan di KPK. Ini sudah menjadi rahasia umum, terkait dugaan korupsi Formula E. Meskipun opsi ini semakin kehilangan momentum, namun belum juga menghilang dari opsi Jokowi.

Ketika mendadak dideklarasikan sebagai capres oleh Partai Nasdem, salah satu pemicu utamanya adalah ada informasi, bahwa Anies akan segera ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.

Partai Nasdem sendiri bukan tanpa ancaman ketika nekat mendeklarasikan Anies. Dalam pertemuan terbatas elit partainya, Surya Paloh dikabarkan berkata, “Abang ini meskipun dibunuh ataupun dipenjarakan tetap akan mendukung Anies, tidak akan berubah”.

Hasil pertemuan Jokowi-Surya Paloh sendiri menghasilkan kesepakatan “status quo”. Artinya, Partai Nasdem akan tetap mendukung Anies, dan menterinya di kabinet tetap tidak direshuffle. Tetapi bukan berarti posisi Nasdem aman. Dugaan korupsi BTS menyebabkan kader utama Nasdem Menkominfo Johnny Plate diperiksa Kejaksaan Agung. Dapat dipastikan, pemeriksaan selevel menteri demikian tentunya atas sepengetahuan dan persetujuan Presiden Jokowi.

Soal info Anies menjadi tersangka sempat muncul dalam pembicaraan Presiden Jokowi dengan salah satu tokoh bangsa utama. Dalam obrolan tersebut sang tokoh terkejut, ketika disebutkan hanya akan ada dua paslon capres 2024.

“Bukankah banyak kandidat yang bermunculan, Bapak Presiden, misalnya ada juga Anies Baswedan”.

“Anies tidak bisa maju karena ada kasusnya di KPK”, jawab Jokowi.

Risau dengan berita pentersangkaan Anies tersebut, pembicaraan itu diceritakan sang tokoh ke Presiden Keenam SBY ketika berkunjung ke Cikeas. Maka muncullah statemen politik SBY di Jakarta Convention Centre pada Kamis 15 September 2021 yang intinya Beliau risau dengan adanya skenario dari kelompok tertentu yang mengatur Pilpres 2024 hanya diikuti dua pasangan calon, dan karenanya menjadi tidak jujur dan tidak adil.

Strategi kesembilan adalah mengambil alih Partai Demokrat melalui langkah politik yang dilakukan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Kita sama-sama paham bahwa Moeldoko telah dan terus berusaha mengambil alih Partai Demokrat. Terakhir diajukan upaya Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. Jika dimenangkan, maka Demokrat akan dikuasai Jokowi, dan dapat dipastikan, Anies akan kehilangan dukungan partai mercy dan terancam tidak mendapat tiket pencapresan.

Saya ingin kita jujur dan tegas mengatakan yang mengambil alih Demokrat adalah Presiden Jokowi, bukan Moeldoko. Sudah jelas Moeldoko adalah KSP Presiden Jokowi, orang lingkar satu istana. Maka setiap langkahnya kalau dibiarkan, berarti mendapat persetujuan sang Presiden.

Ketika Moeldoko dibiarkan mengambil alih Partai Demokrat, tidak direshuffle, dan sekarang mengajukan PK ke MA, harus dikatakan ini adalah strategi Jokowi untuk mencaplok Demokrat, sekaligus menggagalkan pencapresan Anies Baswedan.

Seorang Advokat memberi info, bahwa PK Moeldoko tidak bisa dianggap ancaman yang enteng-enteng saja. Teman advokat ini menyampaikan dihubungi beberapa hakim agung yang terjerat kasus korupsi mafia perkara di MA. Mereka meminta sahabat advokat tersebut menjadi pengacaranya. Karena pernah di KPK, dan aktivis antikorupsi, sang sahabat menolaknya.

Tapi dari pertemuan itu, ada kisah sangat menarik yang kemudian muncul, dan minta saya menyampaikan kepada petinggi Demokrat. Bahwa para hakim agung yang bermasalah itu dijanjikan dibantu kasusnya, bahkan hakim agung lain yang mestinya juga diciduk kasus yang sama tidak akan disentuh, dengan kesepakatan tukar guling perkara. Yaitu, para hakim agung itu membantu memenangkan PK yang diajukan Moeldoko Cs atas Partai Demokrat AHY.

Pencaplokan partai oleh seorang Presiden adalah persoalan serius. Apalagi partai yang dicaplok adalah partai seorang mantan presiden. Bukan saja itu membahayakan demokrasi kepartaian di negara kita, tetapi menunjukkan bagaimana kasarnya politik yang dilakukan. Bayangkan, untuk membatalkan pencapresan Anies, seorang Presiden sampai nekat merestui, paling tidak membiarkan KSP-nya, mengganggu partai resmi yang dilahirkan bukan orang sembarangan, Presiden Keenam RI, Pak SBY.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *