Tikungan Inkonsistensi Lahir-Batin dan “Halal bi Halal”

Lahir-Batin dan “Halal bi Halal”
Halal bi Halal

Sepuluh maksiat batin tersebut menjadi musuh batin dalam kehidupan sehari-hari yang perlu dihadapi dengan puasa. Berpuasa adalah proses pelatihan agar ego lahiriah manusia jangan sampai mengalahkan entitas asali yang sudah suci sedari dulu, yakni ruh.

Ego lahiriah mendorong maksiat batin yang perlu diminimalisir agar berjalan seimbang antara lahir dan batin. Moderasi antara lahir dan batin tersebut perlu dilakukan agar dapat memenuhi kebutuhan fitrawi kita, sehingga puasa tidak perlu dilakukan selama 24 jam.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Buka puasa, selama tidak berlebihan (rakus), membuat pekerjaan batin lainnya (salat, berdoa, dan tarawih) tidak terganggu oleh rasa kantuk karena lonjakan gula darah yang tinggi akibat sifat konsumtif yang berlebihan. Dengan demikian, berpuasa, selama mengetahui makna hakikat batinnya, akan melahirkan kesehatan jasad kita.

Paradoks Makna Lahir-Batin

Setelah berpuasa, lelaku spiritual setelahnya adalah bermaaf-maafan sebagai bentuk perbaikan hubungan batin kepada sesama manusia. Saling bermaafan sebagai manusia spiritual seyogyanya melibatkan dua hal utuh dalam alam mikrokosmos pada diri manusia, yaitu lahiriah dan batiniah.

Seringkali kita mengabaikan esensi bermaafan dengan tindakan kita sehari-hari. Kita bisa bermaafan secara lahiriah, tapi tidak secara batiniah hanya gara-gara perbedaan sudut pandang. Kita seringkali bermaafan, tapi tidak melibatkan batiniah kita hanya gara-gara perbedaan suku, golongan, bahkan perbedaan ormas. Kita layaknya manusia yang paradoks. Maaf-maafan lahir batin hanya berupa seuntai kata yang keluar dari mulut yang bersifat formalitas belaka.

Di sisi lain, kita juga memendam tindakan aksiologis maksiat batin sebelum bermaafan dan dilakukan setelah bermaafan. Proses sikut menyikut karena berbeda jalan ornamen organisasi dilakukan pasca bermaafan. Bermaafan hanya sekedar ritual di masjid, rumah, ritual silaturrahim, dan tempat pengajian umum saja.

Ironisnya, hal demikian dapat pula terjadi di kehidupan perkantoran dan kampus dengan segala warna politiknya. Kita mengabaikan esensi bermaafan karena kita hanya memendam aksi sikut-menyikut setelah bermaafan. Pada akhirnya, makna esensi bermaafan lahir dan batin sering terlupakan. Perjuangan bersama membangun kampus, kesejarahan klasik pendirian kampus-kampus institusi keagamaan yang didirikan oleh rantai antaraliansi golongan, menjadi tercederai gara-gara perbedaan fanatisme terhadap ornamen yang disematkan pada keseharian.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *