Kontroversi Dokumen ‘Saya Kembali ke Ru’yah’ Karya Buya Hamka, Ini Penjelasan Ulama Muhammadiyah

Kontroversi Dokumen 'Saya Kembali ke Ru'yah'
Buya Hamka

Hajinews.id – Perdebatan tentang penggunaan hisab atau rukyat untuk menentukan awal puasa, 1 Syawal, Hari Arafah, dan 10 Dzulhijjah terus memanas. Baru-baru ini beredar dokumen jawaban Buya Hamka atas pertanyaan Hasan Basri Sulthan sebagai “dalil” untuk memecah konsolidasi organisasi Muhammadiyah.

Pertanyaan yang diajukan oleh Hs. Basri Sulthan dikaitkan dengan menggunakan metode untuk menentukan Ramadhan pertama pada tahun 1392 H atau 1972 M. Jawaban Buya Hamka diterbitkan pada tahun 1972 oleh perusahaan “Islamiyah” Medan dengan judul “Saya Kembali ke Ru’yah” Mendekati 1 Ramadhan 1392 H”.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Mengutip laman Muhammadiyah, terkait dengan ramainya jagat maya membahas dokumen jawaban Buya Hamka tersebut, Ulama Muhammadiyah, Ajengan Wawan Gunawan Abdul Wahid pada, Jumat (28/4) memberikan respons bahwa, dokumen seperti itu akan selalu muncul dalam rangka mengganggu konsolidasi organisasi.

Dalam pengamatan Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah ini, sebelum dokumen jawaban Buya Hamka itu, Muhammadiyah juga diganggu dengan menyebarnya photo copy kitab fikih jilid 3 yang dinisbatkan kepada KH. Ahmad Dahlan.

Dia menjelaskan, tentang penggunaan metode hisab untuk menentukan awal Ramadan maupun Hari Raya Idulfitri, bukan hanya Muhammadiyah saja yang menggunakannya, tapi juga tidak sedikit pesantren yang menggunakan metode hisab, termasuk pesantren-pesantren yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU).

“Padahal di lingkungan NU pun tidak sedikit pondok pesantren yang gunakan hisab pada saat umumnya secara organisasi menetapkan penggunaan rukyat,” katanya, dikutip dari laman muhammadiyah.or.id, Minggu (30/4/2023).

Alumni Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut ini menjelaskan, bahwa Muhammadiyah adalah sebuah organisasi yang dalam bidang hukum Islam punya metode penemuan hukum yang disebut manhaj tarjih Muhammadiyah.

“Kepada kerangka epistemologi itulah para ulama Muhammadiyah berpikir, bermusyawarah dan memutuskan perkara bukan kepada tokoh tokoh individual,” imbuhnya.

Metode Hisab Keputusan Organisasi Muhammadiyah

Termasuk penggunaan metode hisab yang dilakukan oleh Muhammadiyah sejak 1950-an, imbuh Wawan Gunawan, itu merupakan keputusan organisasi bukan individu. “Ketika Muhammadiyah memastikan penggunaan hisab wujudul hilal sejak tahun 1950 an itu keputusan organisasi bukan keputusan pribadi KH. Wardan Diponingrat,” ungkapnya.

Bukan hanya pada penggunaan metode hisab untuk menentukan waktu-waktu penting ibadah umat Islam, Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid terus melakukan tajdid dalam berbagai bidang. Sebagai implikasinya akan selalu ada pengembangan pemikiran dalam Muhammadiyah termasuk dalam penggunaan rukyat dan hisab.

Menurutnya jika dahulu, sebagaimana disebutkan HPT Jilid satu, bahwa hisab itu mendampingi rukyat sehingga dinyatakan bahwa untuk memulai puasa dan Idulfitri dipastikan dengan rukyat dan tidak terlarang gunakan hisab (ash-shaumu wal fithru bir Rukyati wa Laa maani’a bilhisaab). Saat ini kaedah itu berubah menjadi “Pendapat yang paling kuat untuk menentukan awal bulan itu dengan hisab” (al ashlu fii itsnatisy syahri bil hisaabi).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *