Kontroversi Dokumen ‘Saya Kembali ke Ru’yah’ Karya Buya Hamka, Ini Penjelasan Ulama Muhammadiyah

Kontroversi Dokumen 'Saya Kembali ke Ru'yah'
Buya Hamka

Di sisi lain, saat ini metode pendekatan yang digunakan oleh Majelis Tarjih juga diperluas dengan bayani, burhani dan irfani. Demikian halnya produk hukumnya.

Hasil dari metode pendekatan tersebut telah disusun Fikih Agraria, Fikih Difabel, Fikih Perlindungan Anak, Fikih Kebencanaan. Sebentar lagi Fikih Al Ma’un dan Fikih Perempuan. Masuk dalam pengembangan pemikiran itu adalah tentang penggunaan rukyat dan hisab.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

“Pandangan terbaru ini didasarkan pada temuan Majelis Tarjih bahwa penggunaan rukyat pada zaman Nabi SAW adalah tuntunan yang diberlakukan sementara karena kondisi saat itu menghendakinya,” imbuhnya.

Kenapa Rukyat Digunakan pada Zaman Rasulullah SAW?

Ajengan Wawan Gunawan menjelaskan, kondisi para sahabat saat itu yang menerima hukum belum punya kesiapan untuk melakukan perhitungan tanda-tanda munculnya awal bulan, disebabkan masyarakat saat itu yang ummi yang belum terbiasa menulis dan berhitung.

Wawan menjelaskan bahwa Al-Qur’an sebagai cantolan utama, serta hadis dan rujukan Nabi Muhammad SAW, mengajarkan hisab. Jika rukyat tidak diposisikan sebagai tafsir cerdas dan komunikatif Nabi Muhammad SAW atas ayat-ayat hisab dalam Al-Qur’an maka ajaran Nabi Muhammad SAW itu bertentangan dengan Al-Quran.

“Karena itu membaca hadis-hadis tentang rukyat tidak boleh dipisahkan dari ayat-ayat perintah melakukan hisab. Dalam bahasa Imam Muhammad bin Idris asy Syafi’i fal ashlu Qura nun wa Sunnatun, sumber hukum utama itu Al-Qur’an dan as Sunnah,” Ungkapnya.

Dalam hematnya, sejauh pembacaan terhadap dokumen yang tersedia, tidak dituliskan oleh Buya Hamka bahwa penentuan awal bulan yang dilakukan dengan hisab (wujudul hilal) adalah tindakan yang tidak bijaksana.

Dia menyanggah, bahwa perbedaan pendapat itu dikelompokkan sebagai perbuatan tidak bijaksana. Sebab perbedaan pendapat juga mendapatkan payung pelindung dari agama dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu Wawan mengajak untuk kembali pada, Al Qur’an, Sunnah dan dalam konteks Indonesia juga kembali pada UUD 1945.

“Pertama, yang penting ketika ada ragam pendapat penyelesaiannya dikembalikan kepada Al Quran dan Sunnah. Kedua, UUD menyantuni setiap perbedaan pendapat sebagai bagian dari hak warga negara,” tandasnya.

Sumber: liputan6