Hikmah Pagi: Memaknai Kembali Kosakata “Kerabat dan Kekerabatan”

banner 400x400

Oleh: Maria A. Alcaff

Apa itu kerabat?
Dalam definisi umum pengertiannya adalah yang dekat (pertalian keluarga) sedarah, sedaging. Dan karena dalam ikatan keluarga maka menjadi hubungan sanak saudara atau keturunan dari induk yang sama.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Penulis pernah membaca pepatah “darah lebih kental daripada air” yang menurut penulis hubungan berdasarkan pertalian darah adalah sangat kuat.

Seorang Ayah akan rela berperan sebagai pelindung keluarganya. Menjamin nafkah dan logistik keluarga untuk pemenuhan segala kebutuhan baik jasmani maupun rohani. Begitu pula halnya seorang Ibu yang melindungi anaknya bahkan sejak dalam kandungan. Sudah mencintai calon anaknya, menjaga dan merawatnya agar kelak lahir sehat. Bahkan pada peristiwa-peristiwa kelahiran kompleks, seorang Ibu bisa saja “tidak selamat” saat melahirkan, menjadi martir bagi lahirnya generasi baru ummat manusia.

Demikian juga halnya hubungan antara kakak terhadap adik, adik terhadap kakak, yang saling kasih, melindungi, menghormati dan menjaga wibawa satu sama lain. Ya itu tadi, karena pertalian darah. Di tubuh-tubuh mereka mengalir darah yang sama, gen yang sama, bak ikatan ajaib yang melingkar di antara mereka. Dan ini bisa saja membawa mereka memiliki cara-cara yang sama dalam membuat keputusan-keputusan, menerima pengaruh dari lingkungan, bahkan dalam menterjemahkan pesan-pesan sosial.

Penulis sendiri pernah mengajarkan kepada anak-anak kami bahwa sedekat apapun kalian dengan teman-teman kalian, ingatlah, kelak yang akan mentalkin (membisikkan atau menyebutkan kalimat syahadat atau kalimat tauhid atau hanya nama Allah saja sebelum meninggal, pen), memandikan hingga memasukkan jenazah kita adalah darah daging kita sendiri. Tentunya dengan harapan selama mereka hidup di manapun mereka berada, ikatan ajaib ini tidak terkoyak dan terus menjadi hubungan batiniyah yang terus “memanggil-manggil”. Dan harapan tertinggi yaitu terbangunnya nilai-nilai yang mereka junjung tinggi sebagai pengaruh baik kepada lingkungannya kelak. Membawanya pada tujuan yang bukan saja kehidupan di dunia ini melainkan kehidupan akhirat nanti. Tentu saja nilai ini pun kami dapatkan dari pendahulu-pendahulu atau orangtua-orangtua kami tentang ajaran yang berdasar pada potongan ayat dari Al Quran surah At Tahrim ayat 6, “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”

Begitulah penulis memahami kerabat yang akhirnya menjadi hubungan kekerabatan seperti dalam definisi umum bahwa kekerabatan atau kekeluargaan merupakan hubungan antara tiap entitas yang memiliki asal usul silsilah yang sama, baik melalui keturunan biologis, sosial, maupun budaya.

Lalu bisakah nilai-nilai awal yang dibawa oleh suatu kelompok kecil masyarakat, dalam hal ini suatu keluarga, bisa berkembang, atau bahkan terjadi perubahan besar?

Penulis berpandangan bahwa mereka yang dibesarkan dalam budaya yang diterapkan oleh “pengaruh” yang kuat, berbeda dengan mereka yang dibesarkan dalam budaya yang tidak kuat oleh pengaruh yang juga tidak kuat. Katakanlah semisal kelompok masyarakat yang lebih mengedepankan anggota kelompoknya boleh mengambil keputusan masing-masing, atau menyerahkan pilihan masing-masing tentang suatu nilai yang akan diikuti, akan berbeda dengan cara memutuskan mereka yang lebih berpegang pada ikatan seperti penulis paparkan sebelumnya. Maka sangat mungkin sekali perubahan cara pandang satu sama lain dalam ikatan keluarga pun berubah.

Manusia sebagai mahluk sosial tentu saja akan menjalin social network di mana mereka berada. Termasuk pada pemenuhan kebutuhan mereka saat mereka harus survive dalam kehidupannya.

Di era globalisasi saat ini, orang akan menerima berbagai hal yang serba membutuhkan kecepatan. Dengan iklim kompetitif seperti saat ini memungkinkan seseorang harus memutuskan cepat, bertindak cepat dan mendapatkan hasil yang cepat pula. Hal yang demikian membuat orang bisa saja bersaing dengan orang terdekatnya untuk pemenuhan kebutuhan tersebut, hingga akhirnya berkembang budaya siapa cepat dia dapat.

Belum lagi masalah-masalah ekonomi yang serba sulit mendapatkannya membuat orang menjadi “begitu sIbuk” di waktu mereka yang sama-sama 24 jam.

Sehingga di antara kesIbukan tersebut, hubungan antar manusia termasuk kekerabatan, menjadi demikian “fleksibel” jika tidak boleh kita sebut meluntur.

Apalagi teori Abraham Maslow tentang Hirarki Kebutuhan Manusia, menurut penulis belumlah usang.

(Disclaimer, penulis tidak melebarkan bahasan tengang teori tersebut, hanya menukil tentang apa saja kebutuhan manusia).

Ya, manusia tidak hanya membutuhkan pangan, sandang, dan papan, berikutnya jika kebutuhan ini terpenuhi, maka kebutuhan lainnya seperti rasa dihargai, atau bentuk penghargaan hingga aktualisasi diripun ingin dipenuhinya.

Target-target suatu pencapaian menjadi “pilihan” yang dianggap penting dalam kehidupan. Dalam kata lain, orang membutuhkan penghargaan saat suath keberhasilan dicapai.

Pada akhirnya mereka disIbukkan oleh target-target mereka, keberhasilan-keberhasilan serta penghargaan-penghargaan mereka. Dan, karena iklim persaingan semakin jelas, maka inilah yang menurut penulis memunculkan kepentingan-kepentingan pribadi, yang pada akhirnya budaya serba pribadi atau sebut saja individualistis menjadi lebih kental.

Lalu apakah “darah masih lebih kental daripada air”?

Kembali penulis beranggapan bahwa “pengaruh” dIbutuhkan terhadap proses penanaman nilai-nilai.

Jika kita berpegang teguh pada Al Quran surah At Tahrim ayat 6, yang potongannya berbunyi “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” niscaya kita sama-sama menjaganya. Bahkan, menurut penulis, hubungan darah, pertalian keluarga, lalu pada kelompok masyarakat yang lebih luas, akan terus menjaga nilai tersebut, manakala “pengaruh” besar tetap mempertahankannya.

Pengaruh besar itu adalah pribadi-pribadi yang terus mengingat asal mereka, menjaga hubungan dari mana mereka berasal, berkomitmen menjadi role model yang melestarikan nilai-nilai ikatan yang kuat.
Sesibuk apapun, seselektif apapun dunia menghadapkan kita, kita mencontohkan kebiasaan-kebiasaan merawat, menjaga dan mempertahankan.

Bukankah pada saat pemenuhan atas kebutuhan pada level di atas, semisal penghargaan atau aktualisasi diri juga bisa lahir dalam hubungan kekerabatan? Bukankah lebih indah saat target-target diri, keberhasilan atas sebuah pencapaian menjadi pengaruh baik di tengah hubungan kekerabatan dan menjadi dasar motivasi untuk menularkan pencapaian yang sama, menghasilkan penghargaan yang jauh lebih bernilai dari sekedar tepuk tangan orang lain saat kita memamerkan sebuah sertifikat?

Ah, lagi-lagi penulis mengidamkan terjadinya hubungan masyarakat yang berkembang berasal dari sel-sel kecil kelompok yang menjunjung nilai-nilai kebaikan.

Lagi-lagi penulis membayangkan pada “The fully Islamic society framework” yang indah yang sebenarnya sudah diamanahkan Sang Maha Pencipta saat kita dilahirkan.

Semoga ini bukan hanya angan, melainkan harapan yang bisa dijalankan oleh generasi penerus yang memegang kuat tali ukhuwah. Karena ukhuwah, maka hubungan kekerabatan sudah terjaga.

Aamiin Yaa Mujibassailiim.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *