Mengapa Harus Perubahan?

Mengapa Harus Perubahan?
Kolase Foto Jokowi, Anies dan Ganjar
banner 400x400

Harapan rejim adalah pada suatu ketika, yang tidak terlalu lama, kebijakan ekonomi politik itu akan berbuah manis, yaitu pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Pada saat itulah rejim dapat memanen legitimasi, dalam arti mendapatkan kepercayaan kepada rakyat bahwa negara tidak akan bangkrut. Kapan hal itu tiba? Rejim berharap tidak melebihi masa jabatan Jokowi.

Kebijakan ekonomi politik Jokowi disusun, dijalankan tanpa deliberasi oleh publik, setidaknya oleh DPR. Mengapa? Karena di dalamnya terlalu banyak kontradiksi dan kontroversi. Kalau rencana tersebut diungkap secara terbuka ke publik, rejim khawatir tidak akan mampu menahan kritisisme. Rejim pada akhirnya terpaksa menggunakan kekerasan politik juga, namun dengan punggung terbuka dari serangan-serangan publik.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Big Push Jokowi dan Ciri-cirinya

Kebijakan ekonomi politik Jokowi disebut Big Push. Secara teoritis kebijakan itu sama sekali tidak baru, dasar teorinya sangat tua, dapat dianggap sebagai perintis teori ekonomi pembangunan. Teori itu dikembangkan pertama kali oleh Paul Rosenstein-Rodan pada tahun 1943. Hampir setengah abad kemudian teori ini dipopulerkan kembali oleh Murphy dkk (1989), Matsuyama (1992), Krugman (1991) dan Romer (1986). Model tersebut merekomendasikan pembangunan infrastruktur (social overhead capital) secara besar-besaran sebagai “syarat minimum yang tidak dapat dipisahkan” untuk tumbuhnya industri-industri yang saling berkaitan dengan harapan akan mendapat percepatan dari efek skala ekonomi dan struktur pasar oligopolistik (Rosenstein‐Rodan 1979).

Penerapan model pembangunan Big Push dilandasi oleh 91887akinan rejim bahwa Indonesia membutuhkan industrialisasi. Suatu industri berkaitan dengan industri lain dalam pola yang disebut komplementaritas. Alih-alih membangun satu industri yang tidak optimal karena komplemennya tidak hadir, Rosenstein-Rodan menyarankan suatu kompleks industri di mana semua industri komplemen hadir secara simultan. Dengan begitu skala ekonomi bisa dimaksimalkan untuk menghasilkan produk berkualitas dengan harga ekonomis. Menurut skema model pembangunan ini peran negara adalah menyediakan infrastruktur (jalan, tol, jembatan, bandara, pelabuhan, dsb). Sementara swasta menanamkan modal di berbagai sektor industri.

Model pembangunan ini telah banyak dijalankan oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Soeharto dan SBY juga membangun infrastruktur dalam jumlah besar. Menjelang akhir masa jabatan SBY meluncurkan MP3EI atau Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, yang pada dasarnya adopsi atas model pembangunan Big Push.

Namun terdapat perbedaan yang mendasar antara Big Push di era Jokowi dengan era Soeharto maupun SBY, bahkan dengan Big Push di negara-negara lain. Ciri utama Big Push Jokowi adalah kebijakan ini dijalankan dengan sekaligus menerapkan ideologi neo-liberal.

Maksudnya, tidak cukup dengan mengalokasikan ribuan trilyun untuk membangun infrastruktur, Jokowi mengubah kerangka kerja hukum pidana, pertanahan, pertambangan, kehutanan, ketenaga-kerjaan, investasi, lingkungan hidup, sistem pelayanan publik, dlsb, untuk keuntungan investor. Misalnya, apa yang ia lakukan melalui UU Minerba dan UU Cipta Kerja. Dengan kata lain, Jokowi menempatkan investor atau pemilik modal sebagai penentu utama dari kerangka kerja hukum dan adiministrasi publik di Indonesia. Kuatnya peranan pemilik modal dalam setting kenegaraan semakin kokoh setelah Jokowi juga mengerdilkan peranan Komisi Pemberantasan Korupsi. Kaidahnya sederhana, ketika tenaga counter-corruption semakin melemah, kekuatan modal semakin sulit dihalangi dalam mengatur proses pengambilan keputusan di pemerintahan.

Dukungan administrasi dan hukum kepada kebijakan Big Push adalah praktek biasa, yang juga dilakukan di negara-negara lain. Masalahnya, di negara-negara lain dukungan tersebut diberikan sebagai perkecualian, seperti misalnya hak-hak istimewa yang diberikan kepada perusahaan di Kawasan Ekonomi Khusus (Special Economic Zone). Sementara oleh Jokowi, dukungan itu diberikan dengan mengubah seluruh norma standar negara. Seperti tercantum dalam UU Minerba dan UU Cipta Kerja, Jokowi menerapkan norma-norma istimewa yang menguntungkan oligarki di seluruh negeri, di seluruh sektor tanpa kecuali. Artinya, dukungan itu bukan lagi fasilitasi melainkan ideologisasi, dan dalam hal ini adalah ideologisasi neo-liberal.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *