Hikmah Pagi: Wanita, Kewanitaan dan Feminisme

Oleh: Syarifah Maria Al Kaff

Saat saya mencoba mencari kata wanita, yang terbaca adalah kata perempuan.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Perempuan yang berarti jenis kelamin yakni orang atau manusia yang memiliki rahim, mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui.
Lalu apa perbedaan antara wanita dan perempuan? Ternyata wanita didefinisikan sebagai perempuan dewasa.

Jadi wanita dalam perjalanan hidupnya mengalami beberapa fase. Sebut saja saat wanita sebagai anak, sebagai perempuan, lalu sebagai istri dan sebagai ibu.
Saat perempuan masih di masa kanak-kanak (anak perempuan) maka seperti anak-anak lainnya termasuk anak laki-laki tentu tidak ada bedanya. Mereka “setara” menjalani hidupnya. Mendapatkan hak kasih sayang, perlindungan, hak untuk hidup sehat, mendapatkan pendidikan yang layak, dan lain-lain.
Organ-organ tubuhnya pun seperti layaknya anak-anak.

Namun saat anak perempuan tumbuh menjadi remaja, gadis atau “menjadi perempuan” di usia aqil baligh di mana organ reproduksinya mengalami perubahan dan masuk fase mentruasi, maka perannya sebagai seorang manusia pun berubah.

Di fase ini pengertian perempuan di atas sepenuhnya akan bisa diperankan. Seperti pada pengertian di atas, perempuan memiliki rahim, mengalami menstruasi, bisa hamil dan menyusui.
Dan karenanya, secara fisik jelas berbeda antara perempuan dan laki-laki.
Perempuan yang telah dewasa bisa memutuskan menjadi wanita yaitu menjalani perkawinan dan hidup berumah tangga, menjalani perannya sebagai ibu, hamil, melahirkan anak, menyusui, merawat dan mendidik anak-anaknya.

Karena fase dewasa inilah maka wanita dalam perannya memiliki hak, kewajiban dan tanggung jawab.

Haknya untuk membuat keputusan-keputusan, berkewajiban menjalankan nilai-nilai yang secara pikiran dewasanya menjadi sebuah keharusan untuk dijalankan.
Contoh, pada saat wanita memutuskan menjadi istri, atau ibu, maka hak, kewajiban dan tanggung jawabnya juga melekat saat keputusan itu dibuat.

Saat wanita dewasa menjadi anak dari orangtuanya haknya diperoleh dari orangtua dan kewajibannya menghormati, mengasihi dan mencintai orangtua. Tanggung jawabnya pun berupa menjaga amanah dari orangtua, menjalankan nilai-nilai keluarganya.
Maka saat wanita menjadi istri, maka kewajibannya berupa menjalankan peran kerjasama bersama pasangannya. Mengambil tugas berupa mandatnya masing-masing demi terbangunnya keluarga sebagai bagian dari terbentuknya peradaban manusia.
Tentang keluarga, penulis pernah menuliskannya secara tersendiri.
Hak istri diperolehnya dari suami, kewajibannya adalah menjadi anggota keluarga yang dipimpin oleh suaminya, serta tanggung jawabnya pada peran kerjasamanya untuk mencapai tujuan.

Lalu apakah dalam perannya sebagai istri, wanita tidak lagi setara dengan laki-laki seperti mereka kecil dulu?
Menjalani hidup perkawinan otomatis bertanggung jawab atas semua hal di dalamnya.
Peran laki-laki atau ayah adalah pelindung keluarganya, menjamin nafkah dan logistik keluarga untuk pemenuhan segala kebutuhan baik jasmani dan rohani.
Maka istri sebagai mitra kerja dari suami, selayaknya lah mendukung pasangannya guna menjalankan peran tersebut. Bukankah saat menjalankan peran itu, maka hak istri pun dapat dipenuhi?
Bukankah saat suami menjalankan tanggungjawabnya, istri juga wajib menjalankan tugasnya?
Menjadi pribadi yang sehat, berakal dan menerima kemuliaan sebagai pintu gerbang kelahiran anak-anak mereka, generasi penerus yang melanjutkan peradaban manusia tadi?

Maka menurut pandangan penulis, ini bukan lagi soal peran sosial atau peran domestik. Ini bukan lagi soal warga kelas satu yang bebas bertebaran di muka bumi mencari lahan garap untuk pemenuhan kebutuhan hidup, bagi laki-laki, dan warga kelas kedua yang bertugas untuk hamil, melahirkan, menyusui, membesarkan anak-anak di rumah, bagi wanita. Bukan, sama sekali bukan seperti itu.

Dalam tulisan tentang keluarga, penulis berpandangan bahwa membangun keluarga adalah mandat khusus dari Allah Sang Maha Pencipta.

Tugas-tugas mulia berupa kerjasama antara manusia laki-laki dan perempuan dalam mengemban mandat Allah menjadi pemimpin-pemimpin di muka bumi dalam kelangsungan hidup manusia itu sendiri.

Laki-laki memimpin “fitrahnya” untuk menjadi benih bagi tumbuh dan berkembangnya peradaban manusia.
Maka wanita pun memimpin fitrahnya menjadi ladang yang sehat, tempat persemaian benih-benih generasi baru untuk tumbuh.
Bukankah ini kesetaraan dalam peran, kesetaraan dalam pembagian tugas yang bukan hanya berdasar pada kemampuan, melainkan berdasar pada fitrah manusia.

Fitrah berasal dari akar kata f-t-r dalam bahasa Arab yang berarti membuka atau menguak. Fitrah sendiri mempunyai makna asal kejadian, keadaan yang suci dan kembali ke asal.
Dengan demikian, selama peran manusia secara “asali” diemban, maka kerjasama ini akan terus harmonis.
Sekali lagi, penulis memandang bahwa laki-laki memimpin fitrahnya sebagai benih bagi tumbuhnya peradaban manusia, perempuan memimpin fitrahnya sebagai lahan persemaian agar benih tersebut kelak tumbuh menjadi generasi yang meneruskan peradaban manusia.

Jadi, laki-laki dan wanita tidak perlu saling bertukar fitrah.
Memang dalam kondisi-kondisi tertentu, terutama masalah ekonomi, menjadi hal yang mempengaruhi upaya suatu keluarga dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Sehingga ketika terbuka kesempatan wanita membantu tugas suami atau kepala keluarga dalam pengadaan logistik, seringkali wanita membagi waktunya.
Sebagian waktu untuk tugasnya sebagi istri dan ibu, sebagian lagi guna bekerja menopang ekonomi keluarga.

Namun, kesempatan ini menurut penulis, bukanlah untuk bersaing dalam hal mendapatkan lapangan pekerjaan.
Bukan untuk menunjukkan bahwa “perempuan juga bisa”.
Betul, banyak pekerjaan dan keahlian yang bisa dilakukan baik oleh laki-laki atau perempuan. Namun bukan menjadi sebuah persamaan layaknya laki-laki boleh begini maka perempuan boleh begini. Laki-laki boleh begitu maka perempuan boleh begitu. Sehingga pada akhirnya menuntut penghargaan atau upah yang sama atas pekerjaan yang sama yang dilakukan mereka.
Kesetaraan dalam fitrah manusia bukan pada sama besar, sama nilai, sama hasil.

Maka penulis menyimpulkan bahwa feminisme yang dalam pengertian barat yang merupakan aliran pergerakan wanita yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Gerakan dan ideologi yang bertujuan untuk mencapai tingkat gender yang bernaung pada hak asasi manusia, sama sekali berbeda dengan kesetaraan dalam fitrah wanita.
Alih-alih atas dasar hak asasi, namun jauh keluar dari konteks “asali” fitrah manusia.
Bukankah “benih” tidak bisa menggantikan peran lahan? Bukankah sesubur apapun lahan jika tidak ada benih yang ditanam, lahan tesebut bagaikan hamparan kosong tak menghasilkan?
Jadi bukan lagi soal layak mendapatkan yang sama seperti gerakan feminisme, bukan soal perempuan juga bisa, namun pada kemuliaan wanita dalam fitrahnya sebagai lahan persemaian bagi tumbuhnya peradaban manusia.

Secara ideal, wanita berhak mendapatkan kesehatan, kenyamanan saat mengandung generasi penerus. Memiliki kemuliaan sebagai gerbang kelahirannya, dan sebagai sekolah pertama (madrasah) yang memberikan pendidikan, pengetahuan dasar atau ilmu pertama kepada suatu generasi.
Kecerdasan dan ketangguhan suatu generasi sangat bergantung pada pengetahuan dasar yang diterima generasi tersebut.
Bahkan jika proses kelahiran tersebut menyebabkan nyawa ibu terenggut, Allah memberikan kemuliaan sebagai syahid. Layaknya martir yang berkorban mati untuk hidupnya sebuah kehidupan baru.

Itulah sebabnya, “surga berada di bawah telapak kaki ibu”.
Segala hal yang pertama berasal dari ibu. Ibu yang pertama mengenalkan nutrisi paling dahsyat sumber kesehatan anak berupa ASI, ibu yang mengajarkan berjalan, berkata-kata dan mengenal arti keluarga.

Jadi, biarlah laki-laki berdiri tegak, memimpin upaya pemenuhan hidup jasmani dan rohani, dan wanita memimpin akalnya sebagai sumber ilmu pertama bagi generasi yang dilahirkannya.
Bukankah banyak pakar menyatakan, kecerdasan diperoleh dari gen ibu, kekuatan diperoleh dari gen bapak?

Keduanya, laki-laki dan perempuan akan dikatakan berhasil dalam menjalankan misi kehidupan ini manakala mandat yang ditugaskan dijalankan dengan baik, bertanggung jawab serta amanah.

Jakarta, 3 Mei 2023.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *