Seperempat Abad Reformasi: Belajar dari Kehidupan Semut

Belajar dari Kehidupan Semut
Hafid Abbas

Seperti halnya semut, manusia mempunyai pula tiga pola polarisasi kehidupan.

Polarisasi pertama adalah manusia yang hidup di dunia pertama yang umumnya berada di AS, Eropa Barat dan Scandinavia. Sumber-sumber ekonominya relatif lebih maju dibanding di belahan bumi lainnya. Jumlah penduduknya relatif lebih kecil dan bahkan banyak yang tingkat pertumbuhannya di bawah nol. Pola hidup warganyamenjunjung tinggi kebebasan individu dengan nilai-nilai demokrasinya.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Sebagai gambaran, pada pemilu Presiden AS 2000 adalah pertarungan antara calon presiden dari Partai Demokrat, Al Gore, melawan calon dari Partai Republik, George W. Bush. Bush menang tipis dalam pemilu ini dengan memperoleh 271 suara elektoral, sementara Gore hanya mendapatkan 266 suara elektoral (selisih lima suara). Ini kemudian memunculkan sengketa perhitungan suara, namun, keputusan Mahkamah Agung dalam penanganan kasus ini, pada 12 Desember 2000 dimenangkan Bush yang kemudian mengantarnya menjadi Presiden AS ke-43.

Polarisasi kedua adalah pola perilaku kehidupan masyarakat di belahan dunia kedua yakni di negara-negara sosialis, seperti China, Korea Utara, Cuba, dsb. Penduduknya berjumlah relatif besar dengan sumber daya ekonomi yang terbatas memaksa pola kehidupan masyarakatnya membatasi kebebasan individu. Masyarakat di blok ini yang dipentingkan adalah hak-hak kolektifnya. Di China misalnya, sekiranya ada demonstrasi yang menentang kebijakan publik yang diberlakukan pemerintah, tidak menutup kemungkinan tragedi pembantaian massal dapat terulang lagi, seperti terjadi di lapangan Tiananmen pada 4 Juni 1989.

Dari sudut pandang kehidupan politiknya, misalnya, di Korea Utara yang berpenduduk 25,97 juta jiwa (2021), ketika melaksanakan pemilu itu pada 9 Maret 2014, hasilnya telah mengantar kembali kemenangan mutlak, 100 persen, ke Presiden Kim Jong Un, tanpa ada seorang pun yang memilih calon presiden lain, karena memang hanya dia calon satu-satunya. Inilah ciri pemerintahan pada negara yang berhaluan politik totalitarian dictatorship.

Polarisasi ketiga, Indonesia sebagai negara yang berhaluan politik yang berdasar pada falsafah Pancasila tentu tidak akan memilih model sistem pemilu seperti di Korea Utara, atau pun seperti di AS atau di negara-negara yang berhaluan politik kapitalis. Namun, corak haluan politiknya adalah mempertemukan semua nilai-nilai yang dipandang positif dari dunia kapitalis dan dari dunia sosialis.

Pada Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955, Indonesia memperkenalkan istilah “the third world” yang kemudian mengantar lahirnya kubu negara-negara non-blok yang tidak memihak ke dunia pertama dan dunia kedua.

Disadari atau tidak, sejak 1998, Indonesia telah memilih jalan demokrasi liberal yang didikte oleh Hukum Darwin, survival of the fittest. Yang kuatlah yang menang dan yang lemah akan punah selamanya. Demokrasi ternyata tidak mengenal belas kasihan kepada mereka yang miskin. (*)