Islam dan Problem Agama Masyarakat Kota

Islam dan Problem Agama Masyarakat Kota
Syah Reza

Imej pelaku teroris dibentuk dengan wajah gamis, sorban di kepala yang merefleksikan simbol Islam. Seketika itu memuluskan narasi “teroris” diidentikkan dengan konsep jihad. Wajar saja, imej jihad yang bermakna positif bagian dari ajaran Islam, direduksi dengan wajah fanatisme Muslim, radikal dan menakutkan.

Kata Akbar S Ahmed, padahal makna Jihad adalah perjuangan dalam bentuk yang beragam. Perlawanan fisik hannyalah salah satu aspek kecil dari makna jihad. Nabi Muhammad saw, mengidentifikasikan jihad terbesar adalah perjuangan melawan hawa nafsu dan insting kita. Maka, maknanya luas, kompleks dan mendalam dari apa yang dicitrakan oleh media (Barat).

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Barat dengan kerjanya sistematis pada satu tahap (identitas) berhasil mewarnai masyarakat muslim yang dimulai dengan perubahan mindset, gaya hidup hingga terbentuk Budaya. Lalu, apa motif Barat melakukan agenda demikian? Sejak periode Pencerahan, Barat menginginkan agar dunia menjadikan Barat sebagai rule model dalam identitas. Artinya, mengikuti mereka dalam segala aspek. Keinginan agar Timur terbaratkan. Tujuan akhir yaitu hegemoni atas wilayah-wilayah Islam, untuk memperkuat dominasi politik dunia.

Reaksi muslim

Karena dampak negatif bahkan destruktif mengenai identitas muslim, banyak tokoh intelektual muslim menolak westernisasi. Selain Syed M Naquib Al-Attas yang secara tegas mengkritik Barat dengan konsepnya ‘Dewesternisation’ dalam karyanya Islam and Secularism, Ali Syariati mewanti umat Islam untuk tidak mengekor peradaban barat. Katanya, “Saya tidak bermaksud menolak mentah-mentah gagasan untuk meniru Barat, tetapi saya tidak dapat menyetujui gagasan ‘membebek’ Barat secara membabi buta. Setiap peniruan yang tidak kita pilih sendiri, yang tidak berdasarkan keperluan-keperluan dan tuntutan kita sendiri, adalah peniruan yang palsu atau imitasi. Kita harus menahan diri untuk tidak ‘membebek’ pada Barat seperti diinginkan Barat atas kita.” (Ali Syariati, 1982).

Sekalipun banyak intelektual muslim yang menolak, namun tidak sedikit juga yang permisif pada sesuatu yang datang Barat, seperti Nurkhalis Madjid dan kalangan post-modernisme Islam. Umumnya menyangkal bahwa westernisasi membawa dampak buruk bagi masyarakat Islam.

Padahal, realitas terjadi di depan mata kita sendiri. Seperti kasus di atas, terperangkap dalam sistem berpikir Marxis. Tak sedikit orang Islam mengalami pergeseran identitas secara serius setelah berinteraksi secara intim dengan ideologi modern, seperti, Materialisme, Atheisme dan Liberalisme.

Kita tidak menyalahkan Barat dalam agenda ideologis tersebut. Dalam kerja peradaban, ideologi menjadi barang dagangan. Tinggal respons pembelinya. Apalagi gratis, langsung ambil, tanpa melihat ada racun apa tidak. Sekalipun dalam jejak sejarah, konfrontasi keduanya tak bisa dielak, namun terlalu naif ketika seorang muslim menganggap barat sebagai teman apalagi TTM (teman tapi mesra).

Zaman ini, pertarungan bukan lagi dalam bentuk perang senjata, tetapi perang identitas dan wacana. Siapa mempengaruhi siapa melalui narasi media, baik audio, visual, maupun media sosial. Modelnya sudah berada pada periode demikian. Kekalahan Islam dalam perang identitas memang disadari oleh banyak sarjana muslim, karena lemahnya penguasaan media.

Media bukan hanya informasi, tetapi tempat produksi wacana, narasi pengetahuan, visual seperti film, konten kreatif, dokumenter, aplikasi lunak dan sebagainya. Sekalipun media bukan satu satunya senjata perang terkini, tetapi untuk penyebaran ideologi, identitas politik dan citra peradaban, media sebagai senjata paling strategis melemahkan dan menghancurkan identitas sebuah masyarakat, lalu digantikan dengan identitas lain.