Hukum Berpuasa Arafah Berbeda Dengan Hari Wukuf di Arafah

Hukum Berpuasa Arafah
Wukuf di Arafah
banner 400x400

Oleh: KH. Muhammad Shiddiq Al-Jawi

Hajinews.id – Haram hukumnya Muslim berpuasa Arafah pada hari yang berbeda dengan waktu wukuf di Padang Arafah. Inilah pendapat terkuat (râjih) dalam masalah ini berdasarkan dua dalil sebagai berikut:

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Pertama, karena puasa hari Arafah yang berbeda dengan hari wukuf di Arafah telah menyimpang dari definisi syariah (al-ta’rîf al-syar’î) untuk hari Arafah (yauma ‘Arafah).

Imam Badruddin Al ‘Aini menjelaskan bahwa “Hari Arafah” (yauma ‘Arafah) menunjukkan waktu (al-zaman) dan tempat (al-makan) sekaligus. Dari segi waktu, hari Arafah adalah hari ke-9 bulan Dzulhijjah. Sedang dari segi tempat, hari Arafah adalah hari di mana para jamaah haji berwukuf di tempat yang dikenal dengan Padang Arafah. Jadi, hari Arafah tidak cukup didefinisikan sebagai hari yang ke-9 di bulan Dzulhijjah, namun wajib disempurnakan dengan redaksi, bahwa hari ‘Arafah adalah hari yang ke-9 di bulan Dzulhijjah ketika jamaah haji berwukuf di tempat bernama Padang ‘Arafah. (Badruddin Al-‘Ainî, ‘Umdatul Qâri Syarah Shahîh Al-Bukhârî, syarah hadits no. 603, 5/339; Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 5/44).

Jadi, definisi syar’i untuk “Hari Arafah” (yauma ‘Arafah) adalah :

يَوْمَ عَرَفَةَ هُوَ اْليَوْمُ الَّذِيْ يَقِفُ فِيْهِ الْحَجِيْجُ بِعَرَفَةَ

“Hari ‘Arafah adalah hari yang para jamaah haji berwukuf di Arafah.” (yauma ‘arafah huwa al-yaumu alladzî yaqifu fîhi al hajîj bi-‘arafah).

Definisi inilah yang dianggap kuat (râjih) _oleh _Al-Lajnah Ad-Dâimah Lil Buhûts Al-‘Ilmiyyah wal Iftâ` (Dewan Tetap untuk Pengkajian Ilmiah dan Fatwa Saudi) di bawah pimpinan Syeikh Abdul Aziz bin Baz. Definisi ini juga dipilih oleh Lajnah Al-Iftâ Al-Mashriyyah (Dewan Fatwa Mesir), Syeikh Hisamuddin ‘Ifanah dari Yordania, Syeikh Abdurrahman As-Sahim, dan lain-lain. (Abu Muhammad bin Khalil, An-Nûr As-Sâthi’ min Ufuq Al-Thawâli’ fi Tahdîd Yaumi ‘Arafah Idzâ Ikhtalafal Mathâli’, hlm. 3).

Definisi tersebut didasarkan pada beberapa dalil hadis. Di antaranya sabda Rasulullah SAW :

وَعَرَفَةُ يَوْمَ تَعْرِفُوْنَ

“Arafah adalah hari yang kamu kenal.” (‘arafah yauma ta’rifûn). (HR. Baihaqi, As-Sunan Al-Kubrâ, 5/176, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahîh Al-Jâmi’, no 4224).

Maka dari itu, jika seorang Muslim berpuasa Arafah pada hari yang dianggapnya tanggal 9 Dzulhijjah, namun bukan hari wukuf di Padang Arafah, misalnya berpuasa satu hari sebelumnya maupun sesudahnya, berarti dia telah menyalahi hukum syariah.

Padahal Islam telah melarang seorang Muslim untuk melakukan amal yang menyalahi hukum syariah, berdasarkan dalil umum dari sabda Rasulullah SAW :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu perbuatan (amal) yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak.” (HR. Bukhari no 2550; Muslim no 1718).

Kedua, karena berpuasa Arafah secara berbeda dengan waktu wukuf di Arafah telah menyalahi patokan wajib untuk menentukan Idul Adha dan rangkaian manasik haji di bulan Dzulhijjah, yaitu rukyatul hilal yang dilakukan oleh Wali Mekkah (penguasa Mekah). Dengan kata lain, patokannya bukanlah hisab, dan juga bukan rukyatul hilal di masing-masing negeri Islam berdasarkan prinsip ikhtilâful mathâli’ (perbedaan mathla’).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *