Orde Reformasi Yang Tergadai (11): Negara Krisis Identitas

Negara Krisis Identitas
Abdullah Hehamahua
banner 400x400

Oleh: Abdullah Hehamahua

Hajinews.id – Tanyakan generasi milineal, siapa anggota Panitia 9, Penyusun Pancasila dan UUD 45. Hanya segelintir yang bisa jawab. Apalagi, jika ditanya Perjanjian Renvile, Linggarjati, dan Konferensi Meja Bundar (KMB). Mosi Integral dan Deklarasi Juanda.? Hampir tidak ada yang bisa menjawab. Mereka justru lebih mengenal dan menghapal nama artis Indonesia, Korea Selatan, Eropa atau AS.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Sebagian kalangan tua suka mengenakan baju batik dan peci hitam sebagai identitas orang Indonesia. Di seluruh dunia, hari Jum’at, umat Islam ke masjid. Hari Sabtu, orang Yahudi ke Sinagok. Penganut Kristen ke gereja setiap hari Ahad.

Umat Islam, setiap mau pidato atau beri kata sambutan, dimulai dengan mengucapkan “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.” Mereka, sewaktu bertamu ke rumah orang, mengucapkan salam yang sama. Nonmuslim, biasa mengucapkan “permisi.” Itulah politik identitas.

Golongan milenial Indonesia lebih bangga mengenakan celana robek di lutut dan kaos “omblong” bergambar artis. Ada pula yang mengenakan kaos berlambang palu arit. Bahkan, ada yang berani menyatakan, “aku bangga jadi anak PKI.” Indonesia hari ini betul-betul krisis identitas.

Soekarno, mendeklarasikan, Indonesia keluar dari PBB sebagai politik identitas negara yang berdaulat. Bahkan, Soekarno menyiapkan kapal untuk memulangkan warga keturunan China ke negeri leluhur mereka.
Soeharto swasembada pangan. Bahkan, beliau memutuskan hubungan dengan IMF. Itulah politik identitas Soeharto.

Orde Reformasi, khususnya pemerintahan Jokowi, Indonesia krisis identitas. Setiap warga negara menanggung Rp. 28 juta karena utang luar negeri. Besarannya, tiga kali lipat dari masa SBY: Rp. 8 ribu trilyun. Itu yang tercantum dalam APBN. Tidak terdaftar di APBN, lebih besar lagi. Indonesia adalah negara Pengemis.

Hak Pengelolaan kereta api cepat Jakarta – Bandung oleh China selama 50 tahun, diperpanjang menjadi 80 tahun. Investor lahan di IKN yang menurut UUPA, pasal 35 ayat (1) dan (2), memiliki HGB atau HGU, paling lama 55 tahun akan diperpanjang menjadi 180 tahun. Bahkan, mandornya pun akan menggunakan warga negara asing.

Tragisnya, Indonesia yang dua pertiga wilayahnya, laut dan punya pantai terpanjang kedua di dunia, masih impor garam. Bahkan, kail pun diimpor. Indonesia yang punya hutan terbesar kedua di dunia, masih impor buah dan sayur-sayuran. Sungguh, Indonesia dalam keadaan darurat identitas.

Hakikat Politik

Politik berasal dari bahasa Yunani, “polis” yang artinya negara. Jadi, bicara politik, bermakna kita membahas segala sesuatu mengenai negara.
Politik menurut KBBI punya tiga arti. Pertama, politik adalah (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti sistem pemerintahan, dasar pemerintahan). Kedua, segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain. Ketiga, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah); kebijaksanaan.

Miriam Budiardjo, mengatakan, politik adalah usaha untuk mencapai kehidupan yang baik. Maksudnya, di sebuah kelompok masyarakat, dalam menghadapi terbatasnya sumber daya, perlu dicari suatu cara distribusi supaya seluruh masyarakat merasa bahagia dan puas. Ditambahkannya, politik adalah usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima dengan baik oleh masyarakat, supaya dapat membawa masyarakat ke arah kehidupan bersama yang harmonis.

Andrew Heywood menyebutkan, politik adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat, memertahankan, dan mengamandemen peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan kerjasama.

Khasanah Islam menyebut politik dengan istilah siyasah. Dari aspek bahasa, siyasah berasal dari kata “sasa,” “yasusu,” “siyasatan” yang berarti ‘mengurus kepentingan seseorang.’ Kamus Al-Muhits menyebutkan, politik (siyasah) adalah “aku memimpin rakyat dengan sungguh-sungguh”, atau “aku memerintah dan melarangnya”, atau “aku mengurusi urusan-urusan mereka dengan perintah-perintah dan larangan-larangan.”

Itulah sebabnya, Ibnu Taimiyah mengatakan, yang penting dalam politik adalah pemimpin harus benar-benar amanah dan adil. Beliau menyaratkan dua hal bagi kepala negara, yaitu memiliki kualifikasi kekuatan (al-quwwah) dan integritas (al-amanah).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *