Dampak Utang, Mandatory Spending Hilang

Mandatory Spending Hilang
Chazali H. Situmorang

Dari gambaran yang diuraikan diatas, dengan effort anggaran 25% dari APBN berdasarkan mandatory spending pendidikan dan kesehatan, ternyata kenaikan IPM kita tidak naik untuk masuk dalam kategori “Sangat Tinggi” diatas 80 seperti negara tetangga (Sangpure, Malaysia, Thailand). Apa mungkin akan masuk kategori “Sangat Tinggi” jika mandatory spending kesehatan dihilangkan. Artinya tidak ada kepastian besaran anggaran sektor kesehatan dari APBN setiap tahunnya. Tergantung sejauh mana Kemenkes menyusun anggaran dan ketersediaan pendapatan negara. Ada potensi alokasi anggaran APBN untuk sektor kesehatan akan kurang dari 5%. Apakah ini suatu kemajuan atau kemunduran?

Kementerian Kesehatan selama ini sering mengeluh kecilnya belanja kesehatan untuk UKM ( Usaha Kesehatan Masyarakat), baik berupa promosi dan preventif kesehatan. Terbesar belanja kesehatan untuk kuratif dan rehabilitatif ( layanan rujukan) dengan kebutuhan alkes dan obat2an yang semakin meningkat.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Rasanya tidak masuk akal jika Kemenkes dalam DIM RUU Obl Kesehatan menghapuskan mandatory spending yang diusulkan DPR sebesar 10% dari APBN dan 10% dari APBD. Patut diduga ada tekanan dari Kemenkeu, apa lagi Sekjen Kemenkes di import dari Kemenkeu. Kenapa?

Ruang fiskal anggaran APBN 2023 ini, tidak sedang baik-baik saja. Dengan total APBN 2023 sebesar Rp. 3000 triliun, sudah harus dikurangi sekitar Rp. 1.000 triliun untuk bayar utang dan cicilan. Dikurang lagi untuk sektor pendidikan Rp. 600 triliun (20%), sektor kesehatan Rp. 150 triliun, dan dana desa sekitar Rp. 70 triliun. Sisanya tinggal Rp. 1.180 trilun. Sisa itu harus dikeluarkan untuk sektor lain yang juga besar seperti pertahanan, infrastruktur, perlindungan sosial dengan berbagai program bantalan sosial, dan juga untuk dana alokasi khusus ke daerah.

Kondisi itu, meyakini kita bahwa besarnya utang dengan cicilan yang sudah banyak jatuh tempo, berdampak terhadap keberlanjutan belanja sektor pembangunan lainnya. Kalau utang semakin “bengkak” dikhawatirkan pembangunan akan mengalami stagnan. Pengangguran akan meningkat. Kemiskian meningkat, dan derajat kesehatan masyarakat akan menurun. Penerima PBI semkain meningkat. Suatu lingkaran setan yang didalam lingkaran itu manusia.

Semakin sempit ruang fiskal APBN menjadi alasan kuat Kemenkeu untuk menghapus mandatory spending dalam pengajuan DIM Pemerintah, dan diamini 5 fraksi dari 9 fraksi DPR Komisi IX. Kemenkes tidak berkutik, atau bahkan memang menginginkannya, tidak peduli masih banyaknya target-target program dalam RPJM 2019-2024 belum tercapai. Mungkin saja dalam pikiran pejabat birokrasi di Kemenkeu dan Kemenkes, di BPJS Kesehatan ada dana jaminan sosial yang berhasil di tarik dari peserta sekitar Rp. 140 triliun. cukuplah untuk bantalan pelayanan rujukan di FKTL, dan layanan primer di FKTP.

Disamping itu mengajak pihak investor untuk mendirikan RS-RS Internasional, dan memasukkan dokter spesialis asing dan aseng (?) dari pada mereka berobat ke LN, yang menurut hitungan pemerintah sampai Rp. 170 triliun dana keluar dari kocek 1 juta masyarakat Indonesia. Dengan RUU Obl Kesehatan, pemerintah lebih mempermudah lagi dengan menyediakan RS-RS Internasional tumbuh subur di Indonesia tentu dengan paket dokternya, dan mengambil langsung uang dari kocek masyarakat untuk mereka bawa pulang ke negeri asalnya. Itu logika yang sulit terbantahkan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *