Para warga pun segera mengerumuni Abu Nawas. “Assalamualaikum, Syekh. Sudilah kiranya Tuan Syekh mampir sebentar di rumah kami,” minta kepala dusun.
Abu Nawas pun sudah menolaknya. Namun karena para warga memaksa, ia pun mau tidak mau menerima ajakan mereka ke rumah kepala dusun.
Abu Nawas dijamu berbagai macam hidangan dan diperlakukan istimewa layaknya raja.
“Apa yang membuat kalian memperlakukanku sedemikian istimewa, padahal kalian tidak mengenalku?” tanya Abu Nawas.
“Begini, Tuan Syekh. Dari penampilan Tuan, kami yakin kalau tuan adalah ulama besar yang dikirim Allah Subhanahu wa ta’ala untuk membantu desa kami,” jawab kepala dusun.
“Memangnya apa yang menimpa desa kalian?” tanya Abu Nawas lagi.
“Sudah berbulan-bulan desa kami mengalami musim kemarau. Tanaman-tanaman mati, air persediaan kami tinggal beberapa ember. Doakanlah desa kami, wahai Tuan Syeh, agar desa kami diturunkan hujan,” jelas kepala dusun.
Abu Nawas terdiam mendengar keluhan mereka. Ia juga berbulan-bulan tidak mandi dan bajunya sudah lama tidak dicuci, padahal tujuannya ke sini untuk menumpang mandi.
Beberapa lama muncullah ide cemerlang di otaknya.
“Baiklah aku akan memanjatkan doa kepada Allah supaya desa kalian diturunkan hujan, tapi ada syaratnya,” ujar Abu Nawas.
“Apa itu syaratnya, Tuan Syekh? Kami bersedia melakukannya,” balas kepala dusun.
“Syaratnya adalah kumpulkan semua air persediaan kalian dan taruh di tengah lapangan,” perintah Abu Nawas.
Para warga pun membawa air terakhir yang mereka miliki. Total air yang terkumpul hanya dua ember. Kemudian air tersebut ditaruh di tengah lapangan.