Oleh : Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik
Hajinews.id – Hehe, politisi lebih bacin ketimbang bangke yang sudah keendus idung. Bau busuknya lebih menyengat. Kalau sudah pencitraan, micinnya kebanyakan.
Awalnya, modus pencitraan itu dengan akting sendiri. Membuat sandiwara dan bergaya-gaya, yang diklaim sebagai kinerja dan ingin dipuji sebagai prestasi.
Misalnya saja, blusukan. Dengan blusukan, mau mengesankan seolah pemimpin yang merakyat, pemimpin yang giat bekerja, pemimpin yang mendengar dan merasakan derita rakyat.
Tapi lama kelamaan, modus seperti ini terlalu mainstream, mudah diendus rakyat. Ketahuan, bahwa blusukannya bukan seperti Khalifah Umar RA yang tanpa kamera dan tanpa dokumentasi. Modus pencitraan via blusukannya kebanyakan micin.
Sekarang, modusnya merampok kinerja orang lain, untuk diklaim sebagai kinerja diri bermodal renovasi, dan nantinya berharap tepuk tangan diberikan pada pemimpin yang merenovasi, bukan yang merencanakan dan membangunnya.
Itulah, modus renovasi JIS oleh Jokowi berdalih agar sesuai standar VIVA. Setelah direnovasi, kelak seluruh legacy akan dirampas, seluruh tepuk tangan dialihkan, dan dada pemimpin renovasi akan membusung, sambil menepuknya dan berkata ‘siapa dulu yang merenovasi’.
Sebelumnya mengkerdilkan, menegasikan, begitu ada peluang merampas legacy, buru-buru bernarasi tentang renovasi. Sungguh, karakter pemimpin culas dan sangat memuakkan.
Sayangnya, yang begini ini masih saja dipuja puji. Masih terus dielu-elukan. Tapi rasanya, itu hanya sampai batas 20 Oktober 2024.
Setelah itu, bangkai yang bau akan segera dibuang. Seluruh topeng kepalsuan akan dicampakkan. Seluruh rakyat, mungkin saja akan berebut mengerubuti dan mencekik lehernya.
Sabarlah wahai rakyat, 20 Oktober 2024 itu tak lama. Setiap hari, tenggat waktu itu makin dekat. Dan saat mencampakkan bangkai, akan segera tiba.
Sabarlah wahai rakyat, waktu itu tinggal sebentar. Sebentar lagi. Tunggulah, dengan bersuka ria untuk menyambutnya. [].
