Politik Dinasti, Anak (Kakak Adik), Menantu, Istri Muda

Politik Dinasti
Politik Dinasti

“Bahkan pascareformasi, politik dinasti seperti mendapat pembenaran melalui sistem pemilihan langsung. Padahal praktis, semua pemilihan langsung tak lebih sekadar seremoni yang dipenuhi borok kecurangan dan keculasan politik,” tutur Miqdad.

Penulis artikel “Dinasti” ini juga mencatat, bahwa mekanisme kekuasaan mutlak memerlukan sistem fair, adil serta pengawasan super efektif. Tanpa sistem ini, katanya, peluang munculnya naluri dan ekspresi buas berkuasa manusia berpeluang tumbuh mekar.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

“Pada tingkat serius, ketika sistem ini tak berfungsi, akan memekarkan kekuasaan berwujud dinasti. Anak, menantu, paman, ipar dan istri, semua diboyong menempati pos-pos kekuasaan dengan menggunakan berbagai cara yang kadangkala dikesankan sangat demokratis,” tegas Miqdad.

Miqdad juga menyarankan agar rakyat betul-betul dipersiapkan lewat pendidikan atau kecukupan secara ekonomi. Jangan sampai rakyat terkontaminasi virus politik uang, nepotisme, dan otorierianisme.

Jadi, Miqdad menyimpulkan, politik dinasti selalu mekar ketika naluri berkuasa tidak bisa dikendalikan.

Ketika kasus Ratu Atut dan Wawan ramai dibicarakan menjelang akhir 2013, mantan Menteri Penerangan dan mantan Ketua DPR MPR, H Harmoko juga memberi catatan yang dikaitkan dengan para calon legislatif (caleg) untuk pemilihan umum 2014.

Harmoko dalam artikelnya berjudul “Tidak Punya Urat Malu” dimuat dalam buku berjudul “Tantangan Pemerintahan 2014 -2019″ menuliskan tentang adanya politik kekerabatan atau politik dinasti dalam daftar caleg yang masuk Komisi Peilihan Umum (KPU).

Harmoko menyebutkan, politik dinasti itu disebut sebagai AMPIBI (anak, menantu, ponakan, ipar, besan dan istri).

Sementara itu, dalam buku berjudul “Sambernyawa Menggugat Indonesia” terbit 2011, penulis Soeryo Soedibyo Mangkuhadiningrat menuliskan tentang nikmat kekuasaan yang selalu membuat penguasa terlena.

Faktor nikmat kekuasaan inilah, katanya, yang membuat kekuasaan itu perlu dibatasi dengan konstitusi. Tapi konstitusi tertulis bukan jaminan mutlak. Bisa saja konstitusi disiasati.

Setelah gerakan reformasi membatasi jabatan dua periode, haus kekuasaan tetap sebagai ancaman untuk melakukan “akal-akalan” licik lewat survei atau berbagai cara lainnya.

Penulis “Sambernyawa Menggugat Indonesia” ini memperlihatkan contoh yang terjadi di negeri ini, di mana penguasa dengan berbagai cara membuka jalan estafet kekuasaan kepada anak, istri atau bahkan tanpa malu kepada istri mudanya.

Hal ini memang terjadi di tingkat daerah, tapi, katanya, bisa menjalar ke tingkat nasional.

Cawe-cawe

Beberapa bulan lalu, diberitakan Jokowi akan “cawe-cawe “dalam pemilihan presiden 2024, demi negara dan kesinambungan pemeritahan.

Pernyataan ini mendapat sambutan cukup meramaikan suasana politik di masa transisi, menjelang pemilihan presiden mendatang.

Di bawah judul “(Harusnya) Bukan Negara Kekuasaan” di harian Kompas halaman satu, Kamis 8 Juni 2023, Bivitri Susanti (dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jantera) membuka artikelnya dengan kisah yang membedakan dan mempersamakan antara perompak dan penguasa.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *