Pemilu Curang: Anak Haram Demokrasi Neoliberal

Demokrasi Neoliberal
Demokrasi Neoliberal

Oleh: Hegel Terome

Hajinews.id – Perjalanan demokrasi sudah 2600 tahun lebih. Sejak negara Polis di Yunani terbentuk, maka cikal bakal demokrasi tua hadir. Sebelum itu, bentuk kekuasaan umum yang kita temui hanyalah sistem kerajaan. Kekuasaan seorang raja adalah absolut. Kekuasaan hanya diwariskan dari generasi awal ke berikut.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Kekuasaan hanya akan berganti apabila terjadi perebutan kekuasaan. Merebut kekuasaan dari raja yang berkuasa, apalagi lama bertahta, harus menyediakan pasukan dan logistik yang memadai untuk berperang. Sejarah manusia selalu ditulisi dengan perang-perang perebutan kekuasaan dari satu raja oleh raja lain atau oleh orang dalam, seperti panglima, jenderal, atau anak atau istri yang membangkang, dan banyak sebab lainnya. Sejarah berlalu, kisah seperti ini, perlahan-lahan melenyap.

Di Polislah pengelolaan kekuasaan oleh rakyat mulai dipraktikkan. Ini pun tidak mudah, karena selama berabad-abad, sistem otokrasi atau kerajaan berjalan demikian kejam berlangsung. Warga Polis kebingungan bagaimana sebetulnya praktik berdemokrasi itu, karena toh pada hakikatnya, hanya segelintir orang yang mengatasnamakan diri mereka sebagai wakil warga Polis. Plato, filsuf yang hidup pada era ini, menyaksikan bahwa demokrasi tetap saja membawa resiko besar bagi warga, karena menciptakan tiran-tiran, diktator-diktator, dan kaum demagog. Dia menyaksikan bahwa demokrasi telah menghasilkan pemimpin-pemimpin atau penguasa yang tidak cakap, terampil, dan tidak bermoral. Kaum haus kekuasaan ini justru yang duduk di tahta pemerintahan atas nama demos/rakyat.

Plato menyaksikan bahwa demokrasi toh berdarah-darah. Kelompok warga satu sama lain saling menjatuhkan dan menyingkirkan agar berkuasa. Sekalipun seakan diatur dengan sekumpulan orang yang bernama oligarkhis, yang mengatasnamakan kepentingan warga, bersiasat menyimpangkan kekuasaan.

Apakah demokrasi ala Polis, sebagaimana yang dilihat Plato, membawa kemanfaatan, membawa angin segar, atau era baru bagi kehidupan warga? Plato jelas menyatakan tidak. Demokrasi cenderung membodohi warga. Hak-hak warga justru dirampas demi segelintir orang atau elit yang dipandang sebagai wakil rakyat. Jelas Plato membenci demokrasi. Oleh karena, demokrasi menolak kualifikasi orang, pemimpin, penguasa. Karena baginya, kualifikasi atau keahlian, jaminan mutu itu teramat penting bagi orang yang hendak memimpin banyak orang. Cilaka jika orang dipimpin oleh orang yang gagal moral dan tidak etis. Orang yang tak handal, dan memanipulasi.

Bila menarik kisah tersebut ke demokrasi yang tengah kita praktikkan, maka agaknya pandangan gelap Plato terhadap demokrasi memang argumentatif. Meskipun banyak pendapat yang menyatakan demokrasi masih lebih baik dari sistem kekuasaan lainnya, namun lama-lama terlihat bahwa demokrasi tidak kapabel untuk memberikan solusi jitu bagi kepemimpinan umat manusia di masa depan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *