Menghentikan Rocky Gerung (Seolah) Membunuh Demokrasi

Menghentikan Rocky Gerung
Rocky Gerung

Memilih posisi sebagai oposan, maka memunculkan sikap kritis yang terkadang dengan penggunaan idiom lewat kata yang terkadang kelewat berani. Kata atau kalimat yang tidak biasa itu mampu menjelaskan kesalahan kebijakan dari pejabat yang dikritiknya. Kata “dungu” menjadi populer untuk melihat kebijakan yang jauh dari maslahat, bahkan merusak, utamanya yang dilakukan rezim Jokowi.

Seiring waktu, kata “dungu” sudah tidak lagi mencengangkan jika itu diucap RG dalam mengkritisi kebijakan Presiden Jokowi. Daya gregetnya sudah mulai luntur, seolah “dungu” sudah bisa diterima selayaknya secara umum. RG seperti mengajarkan pada khalayak untuk tidak memberi label istimewa pada kekuasaan mana pun di tingkat apa pun. Menurutnya, justru perlu mengkritisinya dengan kata atau kalimat tak biasa.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Ujaran khas RG yang tak biasa itu bisa jadi akan sulit bisa ditiru pihak lain, tapi setidaknya RG mampu mengucapkan sebagai penekan, bahwa ada yang tak beres yang dilakukan rezim. Maka, kata atau kalimat tidak biasa dipilihnya untuk menggambarkan itu semua. Jadi biarkan saja RG bicara tidak biasa, itu haknya yang tak bisa dibatasi oleh pelaporan pada pihak berwajib atas perbuatan tidak menyenangkan atau apa pun namanya.

Hari-hari ini jagat pemberitaan diramaikan tamparan kegeraman RG pada Presiden Jokowi. Kegeraman ditumpahkan saat memberi orasi di hadapan perwakilan buruh di Bekasi. RG bicara memberi semangat pada buruh yang akan melakukan demonstrasi pada 10 Agustus nanti. Tapi di situ RG juga menyelipkan kalimat “menempeleng” Jokowi sebagai presiden berkaitan dengan IKN, yang lalu disikapi pelaporan ke Bareskrim Polri oleh sejumlah kelompok relawan Jokowi. Relawan yang tak terima presidennya dihina dengan perkataan tak sepatutnya.

“… Tapi ambisi Jokowi adalah mempertahankan legasinya. Dia hanya memikirkan nasibnya sendiri. Dia menawarkan IKN, mondar-mandir ke partai-partai untuk mencari kejelasan nasibnya. Dia mikirkan nasibnya, bukan nasib kita. Itu bajingan yang tolol, sekaligus bajingan pengecut,” ujar RG dikutip Senin (31 Juli 2023).

Laporan itu ditolak Bareskrim, karena itu delik aduan. Mereka tidak berhak melaporkan atas nama Jokowi. Jika ingin diteruskan, maka yang mengadukan adalah Jokowi sendiri. Agaknya istana memilih tidak ingin memperpanjang, seperti tidak berharap api kecil menjadi besar. Membiarkan saja itu seharusnya, agar suasana kondusif tetap terjaga. Banyak pihak menyebut, justru jika tidak disikapi dengan terukur, justru bisa jadi pemantik memakzulkan Presiden Jokowi. Apalagi waktunya berdekatan dengan penyelenggaraan demo buruh.

Bagus jika narasi “bajingan yang tolol, sekaligus bajingan pengecut” itu tidak direspons berlebihan. Biar saja itu dihela angin waktu. RG sudah menerangkan makna harfiah kata “bajingan”, yang jauh dari kesan jahat. Sepertinya RG mengajarkan, keyakinan pada apa yang dinarasikan, dan itu tidak asal bicara, tapi bisa dipertanggungjawabkan secara akademis. Memilih sikap membiarkan RG, itu pastilah tidak berdiri sendiri, tapi ada arahan istana.

Keriuhan syahwat yang dibawa kumpulan relawan Jokowi memenjarakan RG, itu seperti sikap keharusan saja, yang mesti dilakukan. Tidak juga perlu disikapi berlebihan, meski narasi yang diumbar menghantam hak privat RG di luar kepatutan. Jika saja RG memilih sumbu pendek, ia bisa mengadukan balik para relawan itu. Tapi mustahil itu dilakukannya. Maka, asyik juga melihat komen putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang juga Wali Kota Solo, saat ditanya wartawan bagaimana sikapnya pada RG yang menghina bapaknya, Jokowi. Jawaban enteng keluar dari mulutnya. Seperti jawaban sekenanya. Seperti sikap tak mau ambil pusing, “Biasa wae, biar warga yang menilai.” Geli juga hamba mendengar jawabannya. Gibran mampu mencairkan suasana, yang juga tak biasa.*

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *