Pengamat Politik UNUSIA Mengatakan Anies Paling Siap Bertarung, Bacapres Lain Tersandera Pemilik Modal

Anies Baswedan (foto istimewa)

Hajinews.id—Pengamat politik dari Universitas Nahdlatul Ulama (UNUSIA) Amsar A. Dulmanan mengatakan, meskipun bakal calon presiden (bacapres) Anies Rasyid Baswedan belum juga mengumumkan nama bakal calon wakil presiden (bacawapres) bukan berarti mantan Gubernur DKI Jakarta itu tersandera secara politik dengan tiga partai politik (parpol) pendukungnya, yakni Partai NasDem, Partai Demokrat dan PKS.

“Anies Baswedan melakukan strategi yang matang. Memilih bersabar dengan menuggu momen yang tepat belum mengumumkan pendampingnya. Itu artinya, sudah ada kesepakatan bersama dengan tiga parpol pengusungnya yang tergabung di Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). Kalau pun ada perbedaan itu sebatas ikhtiar politik, semuanya juga ikhtiar politik,” kata Amsar A. Dulmanan seperti dilansir KBANews, Minggu 20 Agustus 2023.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Menurutnya, dibandingkan 2 bacapres lainnya, hanya Anies Baswedan yang paling siap bertarung di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Sementara PDI Perjuangan dan Partai Gerindra masih sama-sama tersandera pemilik modal.

Lebih jauh, Amsar tak memungkiri semua kandidat presiden yang maju bertarung di pilpres mendatang masih mencari pemilik modal, masih buka lapak termasuk Partai PDI Perjuangan dan Koalisi kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang merupakan gabungan Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Mereka masih menunggu siapa pemilik modalnya. Sementara Anies, kekuatannya adalah para relawan pendukungnya benar-benar berjuang tanpa mengandalkan ‘money politics’ (politik uang).

“Nah ini bedanya Anies dengan mereka itu (PDIP dan KKIR). Kekuatan Anies adalah semangat gotong royong para pendukungnya yang dengan keikhlasan dan kegigihan serta keyakinan bahwa Anies akan jadi Presiden RI. Semangat berjibaku inilah yang tidak dimiliki capres lainnya yang masih menunggu pemilik modal turun,” urainya.

Dijelaskannya, kepastian parpol tidak ditentukan dari pola koalisi terbangun tetapi seberapa besar dukungan pemilik modal yang punya kepentingan terhadap perubahan dan kepemimpinan di Indonesia.

“Jangan salah, parpol juga cari uang kalau parpol tidak punya uang sulit untuk mendukung capres dan cawapres semuanya ujung-ujungnya kembali kepada kekuatan uang. Capres dan cawapres sudah ada di kantong pemilik modal,” jelas Amsar A. Dulmanan.

Katanya, politik itu rasional tapi pada titik tertentu tidak rasional, mencari keabsahan Presidential Threshold dengan ambang batas 20 persen pencalonan presiden dalam Pemilu 2024 mendatang.

PDI Perjuangan bisa mencalonkan presiden nya sendiri sementara parpol lainnya yang kurang dari 20 persen berkoalisi untuk memenuhi 20 persen ambang batas yang sudah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Pasal 222 UU Pemilu yang menyatakan “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.”

Jadi, lanjut Amsar, koalisi bisa lompat makanya partai yang berkoalisi belum banyak bicara siapa capres dan cawapresnya karena partainya belum dijamin, pemilik modalnya belum kelihatan.

Pemilik modal ini masih menunggu pendaftaran pasangan capres dan cawapres dibuka oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) 19 Oktober hingga 25 November 2023.

“Nah, kalau sudah secara resmi terdaftar siapa capres dan cawapresnya barulah pemilik modal ini turun melakukan kesepakatan politik. Ibaratnya buang Rp1 triliun tapi dapat untung Rp10 triliun. Begitulah politik transaksional karena Undang-undang Pemilunya dibuat untuk kepentingan oligarki dan yang membuat undang-undangnya ya di Senayan itu (Anggota DPR RI),” kata Amsar.

Koordinator Nasional Forum Komunikasi Generasi Muda Nahdlatul Ulama (FK-GMNU) Amsar A. Dulmanan mengatakan siapapun capres dan cawapres mempunyai peluang yang sama, sama-sama menang dan kalah. Begitu juga Anies selama punya hak untuk dipilih masih berpeluang sebelum pemilu ditetapkan sebagai satu keputusan final oleh KPU. Menang atau tidak bukan ditentukan oleh kita tapi realitas pemilu yang ditetapkan oleh KPU.

Jadi, tambah Amsar, jangan menutup sesuatu ditetapkan saja sebagai proses hukum semacam protap (prosedur tetap) dari pelaksanaan-pelaksanaannya siapa yang bertanggung jawab ketika ditetapkan sebagai pemenang ya, sudah itu.

“Itu kan kasus Jokowi sama Prabowo pada Pemilu 2019 lalu begitu. Realitasnya Prabowo di atas angin pemenangnya tiba-tiba di dalam detik-detik terakhir Jokowi yang menang. Dan itu tidak menutup kemungkinan terjadi lagi pada Pemilu 2024,” ujar Amsar.

Amsar mengatakan kejadian tersebut bisa terulang kembali tergantung sistemnya kalau sistemnya artinya prosedural KPU hanya semacam penyelenggara negara, tinggal dipanggil-panggil oleh pemilik modal.

“Ada posisi tutup mulut. Rakyat tahunya bahwa pemilu berjalan suskses sebagaimana mestinya tapi ‘bargaining position’ (posisi tawar) dari para eksekutif dan legislatif kita kan tidak tahu, rezim itu berjalan berdasarkan kepentingannya,” tukas Amsar.

Untuk diketahui, Partai Golkar dan PAN resmi meneken kerja sama untuk bergabung dalam Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR). Dalam deklarasinya, kedua partai politik tersebut juga secara resmi menyatakan dukungannya kepada Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto.

Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto menjelaskan sejumlah alasannya mendukung Prabowo. Salah satunya adalah sejarah Prabowo bersama partai berlambang pohon beringin itu.

“Beliau selalu mengikuti kegiatan di Partai Golkar dan kekaryaannya tidak diragukan lagi, egaliter, searah, sejalan dan setujuan dengan Partai Golkar,” ujar Airlangga di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta, akhir pekan lalu.

Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan juga membeberkan alasannya mendukung Prabowo. Salah satunya adalah pengalaman kerja sama pada Pilpres 2014 dan 2019.

“Kami sudah 10 tahun bareng-bareng dengan Pak Prabowo kami meyakini perjuangan 10 tahun itu akan tuntas,” ujar Zulkifli.

Sebelum Partai Golkar dan PAN, PKB menjadi yang pertama berkoalisi dengan Partai Gerindra. KKIR diteken kedua partai politik pada satu tahun yang lalu.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *