Budiman Sudjatmiko: Keputusan Megawati Memilih Ganjar Itu Keliru

Keputusan Megawati Memilih Ganjar Itu Keliru
Budiman Sudjatmiko. ilustrasi: detik
banner 400x400

Hajinews.id – Budiman Sudjatmiko diganjar kartu merah oleh Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Surat pemecatan sebagai kader diterima Budiman enam hari setelah ia bersama Prabowo Subianto mendeklarasikan Relawan Prabowo Budiman Bersatu (Prabu) di Semarang, Jawa Tengah. Wilayah itu dianggap elite PDI Perjuangan sebagai kandang banteng.

Dua jurnalis detikX, yaitu Ani Mardatila dan Ahmad Thovan Sugandi, mendapatkan kesempatan berbincang mendalam dengan Budiman sebanyak dua kali: sebelum dan setelah pemecatannya dari PDI Perjuangan. Budiman menegaskan keputusan PDI Perjuangan mengusung Ganjar Pranowo merupakan tindakan yang keliru.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

“Ya, itu keliru. Mungkin pendekatan populistik di 2014 cocok. Karena memang lawannya waktu itu Pak Prabowo itu agak-agak elitis ya. Sehingga mencari antitesisnya ya yang populis, itu cocok. Makanya muncul Pak Jokowi,” ujarnya.

Menurut eks Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik tersebut, saat ini Ganjar merupakan pemimpin yang populis. Di poros yang lain, Anies Baswedan cenderung intelektualistik. Sedangkan Prabowo, berbeda dengan Pilpres 2014, kini tak elitis lagi.

Budiman Sudjatmiko saat bertemu Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Selasa (16/8/2022).

“Pak Prabowo itu sosok yang strategis. Saya pikir, dalam menghadapi seperti ini, ya kita butuh kepemimpinan strategis. Bahwa kemudian ternyata bukan dari partai saya, it’s okay,” tuturnya.

Pak Prabowo itu sosok yang strategis. Saya pikir, dalam menghadapi seperti ini, ya kita butuh kepemimpinan strategis. Bahwa kemudian ternyata bukan dari partai saya, it’s okay.”

Atas sikapnya ini, Budiman merasa biasa saja diserang dengan julukan sebagai ‘pembelot’, ‘kader kaleng-kaleng’, atau bahkan ‘celeng’. Pada 1990-an, dia pernah merasakan beban yang lebih berat. Bahkan risikonya adalah kehilangan nyawa. Namun, yang banyak orang tak tahu, ada beberapa kader PDI Perjuangan yang diam-diam mendukungnya.

“Ada diskusi dengan beberapa teman. Nggak perlu saya sebutkan siapa. Dan ketika terjadi pun, banyak juga teman PDI Perjuangan di DPR RI secara diam-diam bilang bahwa keputusan saya sudah benar,” ujarnya.

Berikut perbincangan lengkap jurnalis detikX dengan Budiman Sudjatmiko:

Apakah benar Anda ini mulai tidak harmonis dengan PDI Perjuangan sejak dibuang ke dapil neraka dan akhirnya gagal maju ke Senayan pada 2019? Apa yang terjadi?

Oh, nothing personal. Di 2019, saya sudah dua periode di DPR sejak 2017. Saya itu sudah pamit ke dapil saya, di Banyumas, bahwa saya tidak akan nyalon lagi. Bagi saya, dua periode di DPR itu cukup. Karena saya tidak mau jadi pegawai politik. Saya tidak mau jadi pegawai DPR. Kalau saya jadi periode ketiga, saya nggak yakin akan memiliki vitalitas yang sama ya. Saya akan tumpul gitu ya kalau ada periode ketiga.

Sehingga pada 2015, saya sudah ngomong ke Sekjen (PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto), saya nggak mau dicalonkan lagi. Udah cukup. Dan kemudian Pak Sekjen yang bilang, ‘Ya udah kalau gitu. Tetap aja kamu harus nyalon, tapi kamu dipindah ke dapil di mana dulu Pak Jokowi dan PDIP kalah di 2014’. Aku bantu di sana untuk dongkrak suara PDI perjuangan, ya it’s okay.

Apakah banyak ide Anda yang tidak diwadahi atau bahkan ditolak oleh PDI Perjuangan selama ini?

Kalau ide, saya sebenarnya sering dikasih panggung oleh partai, tidak semuanya dijadikan, dan memang belum banyak yang dijadikan. Tapi saya pernah isi pelatihan-pelatihan. Saya ngasih wawasan ke partai bagaimana menghadapi problem mutakhir di era kayak gini. Yang bermain itu bukan cuma manusia, yang bermain itu mesin. Apalagi di hadapan pandemi kemarin, semua orang akhirnya masuk digital.

Pandangan Anda tentang Megawati Soekarnoputri?

Ya, saya sebagai orang yang memang suka belajar pemikiran Bung Karno dari dulu, saya lihat Bu Mega bersikap dan berpikir, ya ini cara berpikir bapaknya. Sama dengan cara berpikir bapaknya. Saya dengerin Bu Mega ngomong kayak dengerin Bung Karno bicara, kayak baca buku bapaknya.

 

Apa arahan terakhir dari Bu Mega yang Anda ingat?

Bu Mega setelah 2019 banyak berbicara dalam rapat-rapat partai tentang perlunya PDI Perjuangan menyiapkan kepemimpinan yang strategis. Terutama setelah kita mengalami pandemi dengan segala konsekuensinya.

Anda diskusi dan sampaikan pandangan ke Bu Mega? Apa tanggapannya?

Oh, sangat senang, sangat senang karena memang beliau juga sebagai orang yang dididik oleh ayahnya. Waktu kecil ketemu banyak tokoh besar, seperti Nehru (Jawaharlal Nehru, tokoh kemerdekaan India). Artinya, obrolan-obrolan yang saya sampaikan, beliau nggak asing. Artinya, beliau juga punya standar tentang kepemimpinan. Karena itu, saya bisa memahami gagasan tentang strategic leadership, which is itu sangat Megawati banget, itu sangat Sukarno banget. Tapi kenapa keputusannya (memilih Ganjar) sangat tidak Sukarno.

Lalu setelah itu, Anda memilih mengkhianati beliau dengan tidak mendukung Ganjar Pranowo dan berpaling ke Prabowo Subianto?

Saya jadi berpikir, kalau saya sekadar hidup, ikut aturan partai saja. Untuk hal-hal yang sangat strategis, untuk bangsa ini, yang rugi banyak orang. Sehingga sementara saya sudah telanjur meyakini apa yang disampaikan Bu Megawati, dari tokoh-tokoh yang ada, saya mengambil kesimpulan.

Menurut saya, sesudah saya olah dengan nalar, dengan common sense dan nurani juga, Pak Ganjar, yang menjadi calon resmi PDIP, adalah pemimpin yang populis, Pak Anies itu intelektualistik, dan Pak Prabowo itu sosok yang strategis. Saya pikir, dalam menghadapi seperti ini, ya kita butuh kepemimpinan strategis. Bahwa kemudian ternyata bukan dari partai saya, it’s okay, itu sama-sama orang Indonesia.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *