Budiman Sudjatmiko: Keputusan Megawati Memilih Ganjar Itu Keliru

Keputusan Megawati Memilih Ganjar Itu Keliru
Budiman Sudjatmiko. ilustrasi: detik
banner 400x400

Konsekuensinya, Anda disebut tidak loyal dan pengkhianat?

Bagi saya, pada akhirnya, menjadi rasional itu menurut saya harus tetap dikemukakan. Lebih penting daripada loyalitas.

Dengan memilih Ganjar, menurut Anda, analisis dan keputusan politik dari Megawati keliru?

Ada di ujungnya yang keliru. Dan saya belum tahu kenapa tiba-tiba kayak gini.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Berarti di mata Anda, untuk saat ini pemimpin seperti Joko Widodo itu kurang cocok karena cenderung populis, alih-alih strategis?

Kan kita tahu, Pak Jokowi pada 2019, periode kedua, terutama setelah pandemi ini, beliau berusaha menjadi lebih strategis. Orientasinya lebih global. Nah, kalau kemudian penerusnya kembali ke sosok yang populis, ini menurut saya yang rugi Indonesia.

Jadi harusnya sudah lulus SMP, kita balik lagilah ke kelas 4 SD. Kita bisa jadi selalu jadi juara pertama di SD. Daripada SMP nggak jadi juara, kita balik lagi sajalah ke SD.

Masyarakat berubah, tantangan berubah. Kenapa misalnya populisnya Pak Ganjar tidak memberikan daya magnetik yang sama seperti Pak Jokowi? Sama-sama misalnya makan ayam pinggir jalan. Sama-sama masuk selokan misalnya. Karena kebutuhannya berbeda.

Pandangan Anda tentang Ganjar Pranowo?

Pak Ganjar bukan politikus buruk ya. Pak Ganjar juga punya magnetic power. Dia punya kebaikan yang mempesona dan memikat. Bukan, ini bukan soal baik atau buruk, ini soal tepat tidaknya. Kalau Pak Ganjar muncul di tahun 2014, itu mungkin tepat.

Jika dipecat, secara politik, Anda akan berlabuh ke mana? Membesarkan Prabu?

Oh, nggak, Prabu (Relawan Prabowo Budiman Bersatu) kan buka partai. Mungkin saya jomblo politik dulu untuk sementara. Ngejomblo dulu. Ngejomblo dulu nggak apa-apa, artinya gak ada masalah juga.

Anda tidak ingin mengundurkan diri dan tetap ingin di PDI Perjuangan setelah semua ini, mengapa?

Karena saya yakin keputusan saya, sikap saya itu benar-benar ideologis, benar-benar strategis. Saya merasa bahwa PDI Perjuangan sebagai sebuah partai yang baik, ya. Dan perbedaan pendapat ini menurut saya bukan pelanggaran ideologis. Mungkin pelanggaran politis. Tapi bukan pelanggaran ideologis. Kecuali kalau saya tiba-tiba sebagai anggota PDI Perjuangan setuju negara khilafah, setuju negara federal, itu ideologis, itu layak dipecat. Tapi bagi saya ini perbedaan politis, organisasional.

Beberapa orang menyebut secara terbuka bahkan Anda sebagai kader kaleng-kaleg, pembelot, bahkan celeng, Anda terima?

Saya pernah mendapat sebutan lebih buruk juga pada 1990-an. Saat saya usia 26 tahun dengan risiko dibunuh. Di media sosial itu, seorang pecundang bisa ngejek pemenang. Di media sosial itu seorang yang tidak berilmu bisa ngejek orang yang berilmu. Ya, saya kira memang itu konsekuensi dari demokrasi di era media sosial. It’s okay, kan? Tapi ada ya misalnya telepon, chat.

Dengan memutuskan mendukung Prabowo, orang-orang selalu tanya, siapa sih yang backup Budiman ini?

Ini menarik, selalu ada pertanyaan Budiman dan teman-temannya yang backup siapa. Nggak ada, nggak ada. Dulu, waktu Undang-Undang desa, saya sendirian orang bingung nih, kok bikin undang-undang mau ngasih uang ke rakyat, puluhan triliun tiap tahun siapa backup-nya? Nggak ada backup.

Sempat izin dan komunikasi ke partai waktu mau dukung Prabowo?

Ada diskusi dengan beberapa teman. Nggak perlu saya sebutkan siapa. Dan ketika terjadi pun, banyak juga teman PDI Perjuangan di DPR RI secara diam-diam bilang bahwa keputusan saya sudah benar.

Menurut Anda, Prabowo paling tepat untuk jadi penerus Jokowi?

Dia tidak ideal juga, tapi paling mendekati. Dia itu pasti tidak ideal. Pasti ada kekurangannya, dengan segala kekurangannya. Memangnya saya ketemu dia tidak berpikir bertahun-tahun? Bertahun-tahun untuk ketemu saja, saya perlu berpikir bertahun-tahun untuk ketemu.

Sebelum pertemuan yang kemarin, sudah sering bertemu Prabowo?

Dulu zaman beliau baru pulang dari Yordania, kebetulan saya diajak Mas Nezar Patria (aktivis 1998 yang menjadi korban penculikan, kini menjabat Wakil Menteri Kominfo), ketemu Pak Prabowo, mau wawancara. Ngobrol macem-macem tentang kasus-kasus 1998. Kemudian ketemu lagi saat Pak Prabowo sebagai calon wakil presiden pada 2009. Saya kebetulan ketua badan saksi nasional tim kampanye Mega-Pro.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *