Surya Paloh dan Anies Bukan Pengkhianat

Surya Paloh dan Anies Bukan Pengkhianat
Surya Paloh dan Anies

Dalam situasi seperti ini, sesungguhnya, kita harus melihat, manuver Nasdem yang berhasil merangkul Muhaimin, sebuah partai yang berbasis Nahdatul Ulama, adalah keberhasilan besar. Kenapa? Karena meyakinkan Muhaimin untuk tidak takut dikriminalisasi oleh kekuatan rezim Jokowi adalah pekerjaan berat. Ini hanya mungkin bisa karena dalam diri Muhaimin juga ada bibit keberanian. Dan ini berasal dari sejarah Muhaimin sebagai aktifis gerakan pro demokrasi di era Orde Baru.

Sebagai catatan, untuk yang tidak mengikuti sejarah Surya Paloh, perlu saya sampaikan sedikit tambahan bahwa Surya Paloh juga termasuk sosok kritis terhadap Orde Baru. Surya Paloh, dibantu oleh Todung Mulya Lubis, sering mengumpulkan aktifis anti Orde Baru di kantornya. Di mana saya pernah diundang. Surya Paloh sendiri pernah mendirikan media oposisi, Prioritas, di era Suharto. Pada satu kesempatan, Syamsir Siregar, Kepala Badan Intelijen TNI (BAIS), sebagaimana diceritakan pada saya, pernah diperintahkan Panglima ABRI/TNI, Faisal Tanjung, untuk menangkap Surya Paloh atas kejahatan melawan Suharto. Untung Syamsir Siregar memberi “pintu damai” kepada Surya Paloh. Dengan sosok seperti ini, tentu saja Paloh boleh merasa paling senior dalam urusan demokrasi dan kebebasan politik.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Penjelasan tentang situasi lingkungan politik yang ada seperti dijelaskan di atas tentu membuat kita faham adanya langkah-langkah strategis yang tidak semuanya harus dijelaskan di depan. Memang, tentu saja perlu dijelaskan kemudian. Agar mitra koalisi dapat mengerti. Pernyataan terbaru dari Surya Paloh diberbagai media menyebutkan bahwa “Anies-Muhaimin” belum diformalkan. Ini tentu menjadi penjelasan yang baik bagi soliditas ke depan.

Ketiga, argumentasi penting ketiga adalah kemenangan kaum perubahan. Sebagai tokoh reformasi dan tokoh Islam, Anies telah menempatkan dirinya pada sosok pemimpin kharismatik yang mampu mendominasi semua capres kompetitor. Namun, fakta menunjukkan, dengan koalisi ramping yang tersedia, Anies ketinggalan dalam elektabilitas di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Berbagai survei menunjukkan Anies mengalami ketertinggalan akibat peta sosiologis kita tebelah. Anies menguasai “Islam identitas”, Ganjar menguasai ” Nasionalis Sekuler ” dan Prabowo atas dukungan Muhaimin/PKB, mendominasi komunitas “Islam Tradisional”. Dalam situasi demikian, Anies bisa saja bertahan dalam perang segitiga kekuatan sosiologis masyarakat kita. Tapi, apakah kita tidak merasa lebih baik ketika kekuatan Islam tradisional, setidaknya dalam naungan PKB, berbagi masa depan dengan pendukung Anies?

Tentu saja ada keraguan arah perubahan dengan masuknya Muhaimin/PKB dalam poros perubahan. Namun, jika Anies-Muhaimin menjadi pasangan, tentu arah perubahan tetap terjadi. Oleh karena, Muhaimin dan barisannya adalah bagian dari sejarah panjang perjuangan bangsa kita.

Penutup

Saya telah berpartisipasi dalam menuangkan pikiran ini untuk meluruskan isu-isu pengkhianatan. Menyebutkan pengkhianat atau pengkhianatan adalah kesalahan besar jika itu terus dipertahankan. Kita melihat beban sejarah yang dipikul pengusung perubahan sudah demikian besar. Seringkali persoalan strategis menjadikan komunikasi antar kelompok terganggu. Surveillence atau pengintelan terjadi di mana-mana. Kekuasaan berusaha mendominasi semua ruang publik dan ruang politik yang ada. Sebuah strategi hanya bisa berjalan kalau ada kepercayaan. Sebuah pengkhianatan hanya bisa dikatagorikan valid atau absah jika Nasdem atau parpol pendukung lainnya meninggalkan Anies.

Kehadiran Muhaimin Iskandar dalam jajaran koalisi pendukung Anies Baswedan harus dimaknai sebagai keberhasilan merangkul lawan, menjadi teman. Apalagi Muhaimin membawa gerbong besar, kaum Nahdlatul Ulama. Sebaiknya kita menyebutkan “Ahlan Wa Sahlan Muhaimin Iskandar”. Mari bersama menyongsong perubahan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *