Orde Perubahan, Menyambut Indonesia Berkah

Menyambut Indonesia Berkah
Abdullah Hehamahua
banner 400x400

Oleh: Abdullah Hehamahua

Hajinews.co.id – Hak asasi manusia ketiga setelah pangan dan sandang adalah papan. Sebab, manusia perlu tempat bernaung. Manusia purba pun menempati gowa sebagai tempat bernaung. Bahkan, hari ini, di beberapa daerah Indonesia, ada yang tinggal di atas pohon. Mereka membuat rumah kecil beratapkan ilalang di atas pohon.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Indonesia termasuk negara kelima di dunia yang banyak memiliki warga tunawisma. Sebab, menurut “United Nation Departement of Economic and Social Affairs,” ada sekitar 3 juta tunawisma di Indonesia. Di Jakarta saja, ada 28.000 orang. Bahkan, pada tahun 2019, ada 77.500 gelandangan dan pengemis tersebar di banyak kota besar, seluruh Indonesia.
Presiden 2024, berdasarkan data-data di atas, wajib merealisasikan pilar ketiga dari sila terakhir Pancasila, Keadilan Sosial. Ia berupa ketersediaan perumahan rakyat yang layak huni. Olehnya, dalam 100 hari pertama, Presiden menerbitkan Perppu atau Inpres tentang perumahan rakyat.

UUD 45 dan Perumnas

BPS, Maret 2023 menyebutkan, ada 26 juta orang miskin di Indonesia. Jika diasumsikan, 26 juta orang miskin tersebut adalah mereka yang tidak punya rumah atau hunian yang tidak layak, maka pemerintah harus menyediakannya.

Apalagi, berdasarkan data PBB, ada 3 juta tunawisma di Indonesia. Padahal, pasal 34 UUD, 18 Agustus 1945, menyebutkan, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Maknanya, Presiden 2024 – 2029 harus membangun, 3 juta rumah. Namun, sensus tahun 2000, ditemukan 1,6% populasi Indonesia adalah tunawisma. Maknanya, pemerintah harus menyediakan 4.320 unit rumah. Belum lagi sensus tahun 2010 yang menemukan 28.364 orang kehilangan tempat tinggal di Jakarta karena bencana alam dan pemutusan hubungan kerja tanpa pesangon.

Kementerian PUPR yang Linglung

Besarnya jumlah penduduk Indonesia perlu didukung ketersediaan perumahan sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia. Kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan tempat tinggal di Indonesia, tahun 2014 diperkirakan mencapai sekitar 17,2 juta unit. Data-data ini berdasarkan sensus BPS yang diadakan setiap 10 tahun sekali.

Rata-rata pertumbuhan kebutuhan akan rumah sebesar 930 unit setiap tahunnya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah memasukkan perumahan menjadi salah satu skala prioritas pembangunan. Langkah awal yang diambil pemerintah adalah menetapkan target pembangunan perumahan yang tertuang dalam RPJMN 2015-2019.

Berdasarkan RPJMN tersebut, yang akan dibangun adalah 2,2 juta hunian dalam jangka waktu 5 tahun. Namun target pembangunan rumah rakyat pada tahun 2015 direvisi karena dinilai terlalu lambat untuk dapat menutupi kebutuhan rakyat akan perumahan. Olehnya, target diubah menjadi 1 juta unit perumahan per tahun.

Faktanya, target perumahan rakyat tidak pernah tercapai. Apalagi, target pembangunan perumahan rakyat setiap tahun cenderung meningkat. Namun, realisasinya selalu di bawah target. Hal ini menunjukkan bahwa, masih banyak permasalahan dalam pelaksanaan program perumahan rakyat. Rendahnya tata kelola serta perencanaan program perumahan bagi rakyat menjadi salah satu sebab, rendahnya realisasi rumah bagi rakyat miskin.

Kementerian PUPR berkomitmen melakukan pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat melalui usulan dari pemerintah daerah. Namun usulan-usulan program infrastruktur dari daerah tersebut menurut Kepala Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) Kementerian PUPR, Rachman Arief Dienaputra, dievaluasi terlebih dahulu. Sebab, pemerintah mengalami keterbatasan anggaran. Maknanya, Kementerian PUPR dalam keadaan linglung.

Aneh bin Ajaib.!!! Pemerintah sadar akan keterbatasan anggaran. Namun, pemerintah paksakan pembangunan IKN. Padahal, ia bukan sesuatu yang mendesak dalam belasan tahun mendatang. Apalagi, biaya pembangunan IKN tersebut sebesar Rp. 466 trilyun. Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Juri Ardiantoro dalam siaran persnya, 28 Juni 2021 mengatakan, dari total dana tersebut, sekitar Rp 89,4 triliun berasal dari APBN. Sisanya, ditaggung oleh Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dan swasta Rp 253,4 triliun. BUMN dan BUMD Rp 123,2 triliun.
Inilah contoh pemerintah yang paling tidak waras selama 77 tahun Indonesia merdeka. Sebab, persoalan Jakarta bukan diselesaikan dengan memindahkan IKN ke Kalimantan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *