Sekilas Konsep Manusia Dalam Islam

Konsep Manusia Dalam Islam
(Dikutip dari buku “5 Terma Manusia Dalam Al-Qur’an” oleh DR. KH. A. Nur Alam Bakhtir)
banner 400x400

Menurut Naquib Al-Attas, bahwa: Ruh manusia itu merupaka sesuatu yang tidak mati dan selalu sadar akan dirinya. la adalah tempat intelejible dan dilengkapi dengan fakultas yang memiliki sebutan berlainan dalam keadaan berbeda, yaitu rûh jiwa (nafs), hati (qalbu) dan intelek (aql). Lebih jelasnya menurut Al-Attas, setiap lafal itu memiliki makna aspek fisik dan aspek spiritual: “Ketika bergelut dengan sesuatu yang berkaitan dengan intelektual dan pemahaman, ruh disebut intelek (‘aql). Ketika mengatur tubuh, ia (ruh) disebut jiwa (nafs). Ketika sedang mengalami pencerahan intuisi, ia disebut hati (qalbu). Dan ketika kembali kepada dunianya yang abstrak, ia disebut ruh (rûh).

Menurut Muhamad Zuhaili: Dengan akal manusia bisa berfikir (al-tafkir), memiliki perhatian (al-wa’y), punya ke-sadaran (al-idrâk), merdeka (al-huriyyah), berusaha memilih urusan (ikhtiyâr li-al-umûr). Dengan akal manusia mampu membedakan yang baik dan yang buruk, dan dapat menjadi seorang alim (‘alimâ). Dan karena akal pula Allah menjadikan manusia tuan dan khalifah di bumi. Dengan ruh (rûh)-nya yang diberikan Allah pada manusia, manusia mempunyai kemampuan berkomunikasi dengan Allah Zat Yang Maha Pencipta, dan Maha Pengatur. Dan dengan fisik (al-jasad) vang terdiri dari materi (al-mâdah), manusia mempunyai syahwat, gharizah, dan dengan gharizah manusia mempunyai kecenderungan seperti yang dimiliki makhluk lainnya.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Sangat beralasan jika Ibnu Al-‘Arabi al-Maliki mengatakan : “Tidak ada bagi Allah makhluk yang terbaik dari (ciptaan-Nya) selain manusia.” Allah menciptakan manusia hidup, berilmu, berkemampuan, punya kehendak, bercakap-cakap, mendengar, melihat, mengatur, bijaksana. Semua itu merupakan sifat-sifat Tuhan Yang Maha Suci, dan sebagian ulama mengambil iktibar darinya. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi S.A.W. riwayat Bukhari, Muslim, dan Ahmad: “Bahwa Allah menciptakan manusia dalam bentuknya yang sempurna seperti sifat Allah yang sempurna (Inna Allâh khalaqa âdama ‘alâ shûratih). Dan dalam riwayat lain: “ala shûrah al-rahmân“. Maka hal ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk Allah yang terbaik secara batin, dan makhluk Allah yang terbaik secara zahir. Karena itu menurut Ibnu al-Arabi para Filosof menyatakan: “Bahwa manusia merupakan alam kecil (al-‘âlam al-ashghar), semua elemen yang ada pada makhluk terhimpun dalam diri manusia.”

Menurut Harun, “Tubuh mempunyai daya fisik atau jasmani, mendengar, melihat, merasa, meraba, mencium dan daya gerak. Baik gerak di tempat seperti menggerakkan tangan, kepala, kaki, mata dan sebagainya, maupun (gerak) pindah tempat, seperti pindah tempat duduk, keluar rumah dan sebagainya.” Adapun dalam konteks ruh, Harun tampakya berbeda pandangan dengan Al-Attas. Bagi Al-Attas ruh dan jiwa (nafs) tidak identik sama. Bagi Al-Attas sabutan jiwa (nafs) hanya digunakan ketika ruh mengatur tubuh atau jasad. Sedangkan Menurut Harun, “Ruh atau jiwa, juga disebut al-nafs mempunyar dua daya : dava berpikir yang disebut akal yang berpusat di kepala dan daya rasa yang berpusat di qalbu yang berpusat di dada.”

Jika kembali pada Al-Qur’an, perkara ruh sepenuhnya urusan dan rahasia Tuhan. Manusia tidak diberi tahu tentang hakikat ruh, dan ilmu yang dimiliki manusia sangat terbatas (Al-Isra: 85). Atas dasar ayat ini menunjukkan bahwa pandangan Al-Attas terkait jiwa (nafs) lebih sejalan dengan perspektif Al-Quran. Al-Quran menjelaskan bahwa ruh (rûh) hanya cenderung kepada hal-hal positif ansich. Sedangkan nafs atau jiwa diidentikan dengan nafsu. Dan Al-Qur’an mengklasifikasi nafsu (nafs) dalam tiga kategori:

Pertama, Nafs muthmainnah (Al-Fajr: 27). Artinya di antaranya : jiwa yang tenang, jiwa yang yakin pada sesuatu yang dijanjikan Allah, jiwa yang damai, jiwa yang diridhai. Dengan kata lain, jiwa atau nafsu yang mendorong kepada hal-hal positif-konstruktif dan diridhai Allah.

Kedua, Nafs lawwâmah, yaitu jiwa yang amat menyesali (Al-Qiyâmah: 2). Jiwa yang mencela yang empunya karena kecerobohannya. Nafsu lawwamah selalu terombang ambing ingin melakukan yang baik dan ingin melakukan yang jelek peluang setan menggoda manusia agar tetap berada pada posisi kejelekan tersebut.

Ketiga, Nafs al-ammarah, nafsu yang selalu menyuruh kepada kejahatan (Yusuf: 53). yaitu nafsu yang cenderung kepada yang negatif-destruktif. Di antaranya kata Al-Mawardi menyuruh untuk berprasangka buruk (al-ammârah bi-sû‘ al-zann).

Terkait dengan peluang setan menggoda manusia, menurut Al-Razi, setan memperdayakan manusia melalui tiga pintu: al-Syahwât, al-Ghadhab, dan al-Hawa. Padanan syahwat adalah binatang (bahimiyyah), al-ghadhab adalah serigala (sabu’iyyah), dan al-hawa adalah setan (syaithâniyyah). Syahwat itu berbahaya (âfah), akan tetapi ghadhab lebih berbahaya dari syahwat. Ghadhab itu berbahaya, akan tetapi al-hawâ lebih berbahaya dari ghadhab. Karena pengaruh syahwat manusia berbuat fahsya, aniaya terhadap dirinya sendiri (zâlim li-nafsih). Akibat dari ghadhab, manusia berbuat munkar, aniaya terhadap orang lain (zâlim li-ghairih). Akibat dari al-hawa, kezaliman manusia dapat melampaui batas (al-baghy).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *