Masih Dicari: Kaligrafi Tak Berkaedah

Oleh: Didin Sirojuddin AR

Hajinews.co.id – SEIRING dilombakannya Kaligrafi Kontemporer, belakangan santer istilah kaligrafi “berkaedah” dan kaligrafi “tak berkaedah”. Yang divonis tak berkaedah adalah kaligrafi kontemporer. Sedangkan yang berkaedah maksudnya seluruh gaya khat murni klasik-tradisional seperti Naskhi, Tsulus, Farisi, Diwani, Diwani Jali, Riq’ah, dan Kufi. Uniknya, barusan ada Lomba “Kaligrafi Kontemporer Berkaidah”. Ada pula yang teruuuuus menunggu dan bertanya, bertanyaaaa dan terus menunggu karena sampai sekarang “Kaligrafi Kontemporer belum dibuatkan kaedahnya”.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Ungkapan² tsb tidak tepat. Sebab, gaya² khat (baik tradisional maupun kontemporer) semuanya berkaedah. Perbedaannya:

Khat Murni Klasik-Tradisional kaedahnya الحروف/HURUF  atau huruf perhuruf dengan alat timbangan huruf (ميزان الحروف) TITIK belah ketupat, alif, dan lingkaran (tapi TITIK yang paling dominan).

Contohnya, ا/ALIF Naskhi tingginya 5-6 titik. Ukuran ini nominalnya disebut تقريبية/taqribiyah alias “perkiraan” dan bersifat قياسية/qiyasiyah alias “analogi”. Artinya, ALIF Naskhi tingginya kira² sekitar 5-6 titik dan ukuran 5-6 titik dianalogikan dengan huruf ALIF Naskhi. Begitulah, huruf² lain dan gaya² tradisional lain selain Naskhi pun diukur dengan alat timbangan titik. Dengan mizan yang berarti “keseimbangan”,  huruf² akan akurat, simetris, dan seimbang BENTUKnya, UKURANnya, TIPIS-TEBALnya, TINGGI-RENDAHnya, TEGAK-MIRINGnya, dan LENGKUNGANnya. Apabila tidak mengikuti kaedah ini, maka gaya² tsb dinyatakan keluar (غيرقابل للقواعد) dan dianggap tidak murni lagi.

Dalam konteks kaligrafi “murni”, mizanul huruf bersifat mutlak dan sulit digugat. Bahkan selaras dan inherrent dengan firman Allah SWT:

وأقيمواالوزن بالقسط ولا تخسرواالميزان

Artinya: “Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu menggerogoti/mengurangi  keseimbangan!” (QS Ar-Rahman/55: 9)

Sedangkan Khat Kontemporer kaedahnya الوصف/AL-WASHOF yang berarti  DESKRIPSI atau GAMBARAN, bukan huruf perhuruf seperti Khat Tradisional. Di sini goresan utk 4 jenis Kaligrafi Kontemporer (Kontemporer Tradisional, Simbolik, Ekspresionis, dan Figural) harus menggambarkan dirinya.

Misalnya, huruf  ا/ALIF + ل/LAM (dalam kata الشجرة) Kontemporer Figural harus benar² menggambarkan figur pohon. Tidak ada kaedah khusus (untuk ALIF tsb), karena yang penting menggambarkan figur pohon alif dan pohon lam. Maka, gambar pohon الشجرة yang dibuat oleh khattat A, B, C, dan D pastilah tidak akan sama, tergantung persepsi dan imaji masing², tapi semuanya sama² membuat figur pohon. Pohon ا/ALIF pelukis A bisa berbeda dengan pohon ا/ALIFnya pelukis B, tapi sama² pohonnya, yaitu “pohon alif”. Berbeda, misalnya, dengan huruf  ا + ل Tsulus/Naskhi dalam Kaligrafi Tradisional, ditulis oleh 30 khattat pun bentuknya harus seragam yang kaedahnya ditentukan oleh mizanul huruf.

Kata الجبال dalam figur bongkahan bebatuan gunung dilukis oleh 5 peserta lomba. Tidak ada yang sama, tapi kelima-limanya melukis figur gunung secara variatif untuk kata الجبال .

Perbedaan atau keragaman ini bukan karena beda-beda pelukisnya semata. Seorang pelukis kaligrafi pun sangat mungkin, misalnya, membuat 4 pohon ALIF  قالواامنا yang berbeda-beda. Bukankah sekumpulan pohon jati atau dapuran bambu yang bertetangga juga tidak sama? Ini karena kaedahnya bukan huruf-perhuruf, melainkan deskripsi atau  “gambaran” keseluruhan. Sekiranya قالواامنا ditulis dengan Khat Naskhi, maka 2 ALIF tunggalnya akan sama, 2 ALIF akhirnya juga pasti seragam.

Contoh lain, gaya Ekspresionis yang saya namakan Syaifuli yang mendeskripsikan corak khas tulisan Syaiful Adnan yang meliuk-liuk sangat atraktif dengan lengkung و/WAWU + ر/RA yang menyeruduk seperti “tanduk minang” sedang ngamuk. Syaifuli tidak ada kaedah huruf-perhurufnya, tapi cirinya tergambar jelas, “Ini gaya kaligrafi Syaiful Adnan.” Dalam lukisan

الله هو مولىكم فنعم المولى ونعم النصير

beberapa huruf sama seperti و/WAWU dan ا/ALIF ditulis berulang tidak persis seragam, tapi semuanya persis mendeskripsikan gaya Ekspresionis khat Syaifuli.

Dalam corak Kontemporer Tradisional juga begitu, harus mendeskripsikan goresan yang “berbau-bau khat Tradisional” tapi tidak persis 100 % Tradisional. Juga Kontemporer Simbolik, harus tegas  “tulisan tsb menggambarkan simbol, ikon, atau logo sesuatu”, tanpa ditentukan kaedah huruf-perhurufnya.

Apakah Kaligrafi Kontemporer “menyalahi kaedah huruf” khat murni Tradisional? Tentu saja, bahkan tidak boleh sama, karena dia juga memiliki kaedah tersendiri yang disebut الوصف atau deskripsi. Apakah Kaligrafi Kontemporer “merusak tatanan” kaligrafi yang sudah ada? Tentu tidak, justeru “untuk mengembangkannya” sebagaimana sejarah perjalanan kaligrafi adalah “sejarah pengembangan dan penemuan corak² baru huruf.” Sama dengan kemunculan Thugra bukan untuk merusak Tsulus, Shikasteh bukan untuk merusak Ta’liq-Nasta’liq, dan Harf Al-Taj bukan untuk merusak Naskhi.

Hayu ah, kita lanjutkan perjalanan untuk mencari kaligrafi tak berkaedah. Pasti, tak bakalan diketemukan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *