Capres Tanpa Baliho

Capres Tanpa Baliho

by ochen

Hajinews.co.id – Sejak awal kontestasi capres-cawapres, saya tidak melihat baliho Anies yang menonjol selain yang dipasang DPP PKS di jl. TB. Simatupang Jakarta Selatan. Di jalan Soeroso Gondangdia Menteng yang merupakan kantor DPP Nasdem atau di Jl. Raden Saleh Cikini Jakarta Pusat yang merupakan markas PKB, tak tampak sama sekali baliho capres Anies-Muhaimin. Koalisi kecil ini seakan tidak peka terhadap eforia pencapresan atau bisa jadi karena kere secara finansial.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Berbeda dengan pasangan Ganjar-Mahfud dan Prabowo-Gibran yang balihonya menempati segala sudut kota Jakarta. Bahkan di Jakarta Pusat, terutama kawasan elite Menteng dan Kebon Sirih, baliho pasangan Ganjar-Mahfud dan Prabowo-Gibran dominan ada dimana-mana. Posko mereka menempati rumah mewah dan perkantoran.

Fenomena ini seolah-olah menunjukkan pasangan Anies-Muhaimin (AMIN) hanya didukung wong alit, atau kaum mustad’afin sedangkan pasangan Ganjar-Mahfud dan Prabowo-Gibran didukung wong elit, kalangan borjuasi kota yang tak lain adalah kaum oligarki.

Baliho, spanduk dan mediatron menjadi media kampanye pilpres yang efektif, tapi belum tentu menjadi media pembelajaran politik yang baik. Bukan saja tentang capres-cawapres, spanduk para caleg yang rata-rata menyungging senyum itu mengesankan mereka orang baik.

Wajah senyum menyiratkan senangnya seseorang pada kita. Namun siapa tahu ketika berkuasa, mereka tak lagi senyum. Bisa jadi dahi mereka mengkerut ketika rakyat ingin bertemu. Dikiranya rakyat mau meminta sumbangan. Para pembesar dan anggota DPR itu kalau didatangi, sekretaris dan resepaionis pasti menjawab “bapak sedang ada tamu” sementara “sang bapak” di dalam sedang ketawa-ketiwi dengan kolega atau rekan bisnisnya.

Saya teringat kisah sahabat Abdullah bin Umi Maktum. Suatu ketika ia mendatangi Rasulullah S.a.w. tapi beliau bermuka masam dan berpaling. Sebab saat itu baginda Rasul sedang serius berbincang dengan para petinggi Quraisy, Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Abu Jahal bin Hiysam, al-Abbas bin Abdul-Mutalib, Umayyah bin Khalaf, dan al-Walid bin al-Mugirah. Mereka adalah para elit Quraisy yang disegani. Padahal Abdullah bin Ummi Maktum yang buta matanya itu hanya hendak meminta Rasulullah mengajarkan dia sesuatu tuntunan agama. Kisah ini merupakan asbâbun nuzûl surat ‘Abasa dalam Al-Qur’an, dimana Rasulullah S.a.w ditegur Allah karena bermuka masam kepada wong alit, Abdullah bin Umi Maktum. Dengan demikian, wajah yang tersenyum di baliho dan spanduk bisa jadi hanyalah kamuflase dari kerakusan dan kepelitan.

Anies-Muhaimin merupakan fenomena politik anti gambar ( iconoclastic politics) yang juga menjadi semacam tawaran baru dari strategi memenangkan pikiran dan hati rakyat, winning minds and hearts of the people. Kita tahu bahwa populisme politik di Indonesia hampir semuanya “baku jual” ( selling people) dan rakyat pasti memahami siapa yang paling mereka sukai cara berpolitiknya dan realitas figur yang sesungguhnya merakyat.

Setiap sudut kota publik dipertontonkan dengan gambar baliho pasangan capres-cawapres Ganjar-Mahfud dan Prabowo-Gibran. Pasangan Anies-Muhaimin tenggelam dalam lautan baliho kedua pasangan lawan tandingnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *