Capres Tanpa Baliho

Capres Tanpa Baliho

Secara awam, pilihan masyarakat akan tertuju pada wajah-wajah mereka yang dipendam ke alam bawah sadar ( unconscious) dan akan muncul kembali ke alam sadar ( conscious) mereka ketika berada di bilik suara. Tapi saya justru mencurigai pasangan Anies-Muhaimin, karena di masa kampanye ini mereka tidak “main” baliho, spanduk dan videotron. Mereka berhibernasi dari kampanye gaya klasik itu.

Hal buruk dengan kampanye gaya klasik ini, masyarakat akan bosan dengan wajah-wajah yang menghantui itu. Mereka akan memilih wajah baru yang jarang di baliho tapi sering di balai. Balai rakyat, balai desa, balaikota, balairung yang melempar ide dan gagasan bukan melempar kaos.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Mereka turun langsung ke massa rakyat dan menampung ide dan gagasan rakyat. Meski dengan keterbatasan artikulasi, rakyat menyampaikan harapan mereka dengan spirit perubahan. Tema “perubahan” menjadi pembeda pasangan Anies-Muhaimin dengan kedua pasangan lainnya yang publik tahu membebek pola kepemimpinan saat ini.

Jika kita menggunakan pendekatan bifokal ( bifocal approach), rakyat tak akan terlena dengan single vision yang ada, tetapi mereka dapat memotret obyek yang jauh, yang tenggelam dalam lautan nuraninya (Michael Goodhart, Injustice: Political Theory for the Real World, NY : Oxford University Press, 2018). Bahwa mereka berbicara tentang nasib rakyat, tentang ketidakadilan tapi mereka sendiri bermarkas di Menteng, jauh dari gubuk-gubuk reot di samping rel kereta dan bantaran sungai. Anies-Muhaimin mungkin pasangan capres-cawapres yang lebih memahami denyut jantung ini, sehingga baliho termasuk survey bukan menjadi target mereka. Mereka ingin menang di pikiran dan hati rakyat.

Ciputat, 4 Desember 2023.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *