Bahkan Nahdlatul Ulama Pernah Jadi Oposisi Orde Baru

Nahdlatul Ulama Pernah Jadi Oposisi Orde Baru
Bendera Nahdlatul Ulama di area Gunung Panderman
banner 400x400

Hajinews.co.id – Eksistensi kelompok oposisi kerap dibutuhkan dalam kehidupan bernegara. Di Indonesia, apalagi. Kelompok oposisi dapat meredam monopoli kekuasaan ala pemerintah zalim. Peran itu dilanggengkan dengan baik oleh ormas Islam, Nahdlatul Ulama (NU).

Nyali NU memilih posisi berseberangan dengan Soeharto dan Orde Baru (Orba) tak perlu diragukan. Segala macam kebijakan Orba yang mengganggu kemaslahatan rakyat Indonesia ditentangnya mati-matian. Dari penyalagunaan kekuasaan hingga penggusuran.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Relasi penguasa dan oposisi mutlak dibutuhkan. Posisi keduanya sama-sama mulia dalam suatu kehidupan bernegara. Oposisi dapat melanggengkan fungsinya sebagai penjaga pemerintah dari monopoli kekuasaan. Tujuannya supaya pemerintah dapat menjalankan kuasanya dalam koridor yang benar.

Potret itu pernah diterapkan oleh NU. Ormas Islam itu kerap memilih posisi berseberangan dengan pemerintah di era Orde Baru. NU tak dapat bekerja dengan narasi Asal Bapak Senang (ABS). Mereka kerap melanggengkan kritik kepada ragam kebijakan pemerintah. Utamanya yang memiliki muatan menyengsarakan rakyat Indonesia.

NU bak memahami bahwa nyali mereka jadi oposisi penuh dengan konsekuensi. Semuanya terbukti kala Orba merasa jalan politik kelompok agama seperti NU harus direduksi. Partai Nahdlatul Ulama (NU) yang besar dipaksa Orba bergabung dengan partai kecil lainnya untuk jadi bagian Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 1973.

Kampanye terakhir Partai NU dalam Pemilu 1971 di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat pada 25 Juni 1971.

NU pun tak gentar. Apalagi wakil NU dengan jubah PPP banyak bertengger jadi wakil rakyat. Perlawanan terhadap rezim zalim Orba terus berlanjut. Alih-alih perlawanan melemah, kritik yang dilemparkan NU kian keras. NU mulai mengecam tindakan Orba yang ingin menggoyang atau mengatur umat Islam.

NU berani melakukan walk out (keluar) di tengah persidangan DPR kala pembahasan mulai menganggu umat Islam. Antara lain pada 1978 dan 1980. Mereka tak ingin meloloskan aturan yang justru bertentangan dengan ajaran Islam.

Kondisi itu membuat Orba berang. Ruang politik simpatisan NU dalam PPP mulai direduksi. Empunya kuasa mulai mengambil alih PPP. Orba pun juga melanggengkan label bahwa NU bak memiliki agenda menolak frasa Pancasila dalam kehidupan bernegara. Suatu ajian andalan Orba yang menyalagunakan Pancasila untuk memukul mundur lawan politik atau kelompok oposisi.

“Pada awal 1980-an, rezim memaksa NU mengambil pilihan yang jelas antara oposisi atau akomodasi. Dalam sebuah pidato yang keras pada tahun 1980, Soeharto menyerang semua kelompok di tanah air yang tampak memusuhi Pancasila (versi Orba) dan justru berpegang kepada ideologi-ideologi saingannya, seperti komunisme, marhaenisme, atau agama dan dia mengancam akan menurunkan militer untuk memukul mereka.”

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *