Pilpres dan Kedewasaan

Pilpres dan Kedewasaan
Debat ketiga capres
banner 400x400

Karena debat, apalagi sekelas debat pilpres bukanlah untuk ajang tanya jawab, dan bersorak-sorai ketika lawan debat tidak tahu apa yang ditanyakan (misalnya karena menggunakan terminologi).

Sebagai orang muda, saya telah menuliskan dukungan kepada pemuda untuk berpartisipasi pada kegiatan apapun pada artikel terdahulu.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Apalagi untuk perhelatan pilpres, meskipun ada polemik yang terjadi, sekarang umur bukan halangan.

Namun, perlu diingat bahwa kedewasaan wajib dimiliki. Pemuda bisa dianggap dewasa, berdasarkan perbuatannya. Sebaliknya, bisa juga dianggap bocah karena kelakuannya juga.

Saya sudah membaca visi dan misi masing-masing pasangan, karena datanya tersedia dan mudah diakses oleh siapa pun.

Topik debat ketiga, yaitu tentang pertahanan, keamanan, hubungan internasional dan geopolitik, sebenarnya menarik karena pas dengan situasi dan kondisi dunia saat ini.

Artinya, dalam suasana dunia setelah pandemi yang menguras tenaga dan biaya, bagaimana upaya mewujudkan atau melaksanakan tema yang diangkat pada debat.

Di tengah pergolakan dunia, misalnya, perang antara Rusia dan Ukraina, serta konflik Israel dan Palestina, hal ini menjadi penting.

Catatan saya, ketiga capres menyinggung masalah Palestina dan Gaza dalam pernyataannya pada arena debat.

Ini dapat dimaklumi karena bagi kandidat, saat pemilu rakyat memang subjek yang harus dibuat senang (baca:dipuaskan). Entahlah kalau sudah terpilih nanti. Jangan sampai berubah 180 derajat, yaitu rakyat hanya menjadi objek yang harus gigit jari.

Saya tidak ingin masuk pada masalah tersebut karena konflik terlalu kompleks. Sehingga banyak perspektif yang bisa dijabarkan.

Selain catatan itu, ternyata tidak ada jawaban atas hal yang ingin saya ketahui berdasarkan tema debat ketiga.

Pertanyaan dari 11 panelis saya kira baik sekali dengan catatan, jika para kandidat serius untuk menjawabnya.

Namun, menurut pengamatan, capres sering kali tidak memberikan jawaban gamblang. Bahkan ada juga yang berbicara hal di luar konteks yang ditanyakan.

Jika saat sesi pertanyaan dari 11 panelis saja saya tidak puas atas jawaban para kandidat, maka saya tidak menaruh harapan banyak pada sesi bertanya antarkandidat.

Padahal setelah membaca dokumen visi misi ketiga kandidat, banyak pertanyaan muncul di benak saya.

Misalnya, apa tanggapan kandidat perihal strategi pertahanan dan keamanan kita pada era teknologi canggih seperti AI (Artificial Intelligence) sekarang?

Sebenarnya ada kandidat yang menjawab dengan persiapan SDM (soft skill) dan peralatan (hardware). Akan tetapi, saya mengganggap itu cuma retorika, dan seperti jawaban dalam buku teks.

Meskipun ada keterbatasan waktu, saya ingin mendapat jawaban yang sedikit detail dan mudah dipahami. Saya kira waktu dua menit itu cukup, asalkan jawaban lugas dan padat.

Contohnya, masalah alutsista memang penting, namun apakah kita mau mendengar argumen, misalnya, mengenai pesawat bekas (sesuatu yang sudah terjadi) di acara debat calon presiden?

Bukankah waktu jawab dan waktu bertanya semestinya dimanfaatkan untuk hal-hal penting yang belum terjadi dan dirasakan perlu, atau bagaimana cara memperbaiki keadaan?

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *