Standar Ganda Politik Presiden Jokowi

banner 400x400

Hajinews.co.id — Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai debat ketiga Pilpres 2024 tidak edukatif. Capres lebih banyak menyerang secara personal.

Pernyataan Jokowi tersebut jadi perdebatan publik. Jokowi disebut menerapkan standar ganda politik. Menurutnya, substansi visi tidak terlihat.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

“Yang terlihat justru saling menyerang, saya kira kurang mengedukasi masyarakat,” kata Jokowi, kemarin.

Dia juga menyebutkan jika rasio hutang negara mengacu undang-undang. Undang-undang telah memperbolehkan rasio hutang bisa maksimal 60 persen. Jokowi membandingkan dengan produk domestik bruto (GDP) masih aman. Sebab di bawah 40 persen.

Pernyataan Jokowi tersebut dinilai berpihak kepada Prabowo. Apalagi sebelum debat, Jokowi juga mengundang Prabowo secara empat mata di Menteng, Jakarta, Jumat, 5 Januari malam.

Meski pertemuan itu disebut hanya makan malam, namun publik berspekulasi dan menilai Jokowi tidak netral dalam pilpres 2024.

“Ingat di negara besar itu sudah 260 persen, ada yg 220 persen. Tetangga kita, tidak saya sebut negaranya ada yang (rasio hutangnya, Red) 120, ada yang 66 persen,” bebernya.

Analis politik Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar Andi Luhur Prianto, menyoroti pernyataan Jokowi tersebut.

Menurutnya, bukan kapasitas presiden mengomentari teknis debat Pilpres. Presiden hanya perlu “meratakan lapangan permainan”, agar pemain bisa mengeksplorasi kemampuan terbaiknya.

“Perhatian Presiden seharusnya menjamin kontestasi Pilpres 2024 berjalan secara bebas dan adil untuk semua. Tanpa diskriminasi dan penggunaan sumberdaya kekuasaan,” tegas Luhur.

Secara etik, Jokowi di debat Pilpres 2019 juga menyerang penguasaan lahan negara yang dikuasai Prabowo. Sesuatu yang juga sangat personal.

“Peristiwa itu dimention ulang oleh capres Anies di momen debat ketiga ini,” ucapnya.

Luhur justru melihat bahwa secara keseluruhan, teknis debat lebih baik dari sebelumnya. Penyelenggara perlu mempertahankan model debat. KPU hanya perlu meninjau ulang pengaturan posisi pendukung agar lebih safety terhadap kontestan dan pengisi acara.

“Sayang sekali tidak semua capres memiliki basis data penunjang yang menunjang argumentasi. Setidaknya debat semalam memberi gambaran debat yang surplus data dan defisit gimmick,” katanya.

Sementara Dekan Fisip Unhas Prof Sukri Tamma menilai debat ketiga Pilpres memang karaktersitik saling serang. Akan tetapi, kata dia, sebenarnya diakui atau tidak proses debat itu memang akan seperti itu.

Sebab dalam aspek debat, memang ada dua hal yang muncul. Pertama, upaya dari kandidat untuk mangaktualisasi diri untuk menunjukkan kemampuan dan seterusnya. Di sisi lain, berupaya membuat kandidat pesaing untuk tidak kelihatan hebat.

“Contoh kecil indikasinya adalah pertanyaan-pertanyaan yang dibuat rumit dan sulit. Itu kadang-kadang diarahkan supaya lawan tidak bisa menjawab atau jawaban tidak tepat,” kata Sukri.

Akan tetapi, jika berharap agar kandidat ini betul-betul memberikan pemahaman terkait visi dan misi memang tidak kelihatan dalam debat ini. Padahal diharapkan kandidat melakukan evaluasi terhadap apa yang terjadi sekarang dan apa yang mereka lakukan nantinya.

Catatan lainnya, Sukri menilai debat ini isunya sangat menarik karena Pertahanan dan Kemananan. Isu ini dikaitkan dengan capres nomor dua selaku Menteri Pertahanan (Menhan) saat ini.

Kemudian cawapres nomor urut tiga adalah Menkopolhulkam yang juga berurusan dengan aspek pertahanan. Lalu, cawapres nomor satu adalah ilmuan yang juga cukup paham dengan kerangka ini.

Jadi mestinya menghasilkan debat yang sangat luar biasa. Terutama bagaimana orang menunggu capres nomor dua itu memanfaatkan isu ini menunjukkan kemampuannya, sementara itu tidak terlihat.

“Jadi kalau dikatakan kurang edukatif memang harus diakui seperti itu. Tapi jika berharap yang lebih besar itu memang agak sulit karena waktunya tidak banyak,” ujar Sukri.

Pengamat Politik Unhas Adi Suryadi Culla, mengatakan banyak pertanyaan yang tidak terjawab. Salah satunya terkait posisi Indonesia sebagai negara bebas aktif. Contohnya dalam ketegangan Amerika Serikat dengan Tiongkok terkait Laut China Selatan (LCS).

“Ego dalam debat sangat nyata untuk menjatuhkan lawan. Hal ini terlihat dengan memberikan pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan waktu singkat,” ungkapnya.

Sementara Pengamat Politik UIN Alauddin Makassar Firdaus Muhammad, mengatakan visi misi dan program capres harus diperjelas. Semua harus diuji, baik sesama paslon maupun publik.

Sumber

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *