Anies Itu Bukan Anjing

Anies Itu Bukan Anjing
Anies baswedan

Sebagai pola “power-sharing” yang adil, tentu saja Gerindra mendapatkan jabatan Wakil Gubernur. Gubernur sendiri “dimiliki” koalisi parpol pendukung yakni Gerindra, PKS dan PAN.

Aksi saling dukung antara Prabowo dan Anies mirip dengan saling dukung antara Habib Rizieq dkk kepada Prabowo. Ummat Islam yang beroposisi terhadap Jokowi sejak awal, pilgub DKI 2012, berkepentingan berpihak pada Prabowo pada tahun 2014. Begitu juga 2019. Prabowo yang suaranya kecil, 4,5% dan tidak diperhitungkan dalam kancah capres melihat peluang besar dukungan ummat Islam. Sebelumnya di mata kaum nasionalis, Prabowo hanya pantas jadi cawapres saja.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Sejak dua kali didukung ummat Islam, vis-a-vis dengan kelompok nasionalis, suara Prabowo meningkat tajam. Partai Gerindra yang merupakan partai gurem menjadi partai besar, naik dari 4,5% (2009) menjadi 11,81 (2014) dan terakhir menjadi 13,58% (2019). Prabowo sendiri menjadi tokoh besar sebagai capres. Tanpa dukungan ulama dan tema kontras identitas (tentunya disadari Prabowo), pastinya Prabowo dan partainya bernasib buruk.

Dengan dasar saling mendukung antara Prabowo dan Anies tentu saja Prabowo tidak boleh menuduh Anies tidak tahu membalas budi. Hal ini menjadikan dasar pula bahwa tidak pantas, jika dan hanya jika benar, Prabowo mengambil pepatah anjing itu untuk menilai Anies.

Soal lainnya, kata-kata cinta tanah air, yang sering dilontarkan Prabowo, sifatnya perlu diuji publik. Ada satu fase Prabowo dianggap (sekali lagi dianggap) pelanggar HAM dan nir-etika sehingga dipecat dari tentara. Namun, adakalanya Prabowo dipuja-puji sebagai capres. Namun, menuding Anies kurang cinta tanah air juga tidak pantas. Sebab, secara keturunan, Anies dilahirkan oleh pejuang yang belum pernah memberontak terhadap negara. Sebaliknya, Prabowo dilahirkan oleh Sumitro yang pernah dianggap melakukan pemberontakan terhadap pemerintah. (lihat: historia.id/amp/politik/articles/dugaan-korupsi-menteri-sumitro-6mmZw). Jadi tafsir cinta tanah air masih dapat diperdebatkan secara relatif oleh mereka berdua sebagai keturunan pejuang bangsa.

Penutup

Pepatah anjing lebih setia yang dilontarkan Prabowo kemarin di Babel, dapat ditafsirkan mengarah ke Anies. Karena sebelumnya Anies disebut goblok dan tolol. Juga penghasut.

Meski Prabowo tidak berani menyebutkan pepatah itu ditujukan kepada Anies, namun rakyat perlu dikabarkan bahwa Anies tidaklah seperti itu. Mengungkit hutang budi terlalu naif dalam politik, apalagi terhadap Anies.

Prabowo mendukung Anies di Jakarta karena Gerindra tidak punya calon yang pantas menjadi gubernur saat itu. Kemampuan Gerindra hanya sebatas mencalonkan wakil saja.

Begitu juga Prabowo yang partainya menjadi besar karena didukung ulama, dari partai gurem, menjadi partai besar, juga sebuah aksi saling dukung saja. Saat itu memang banyak ulama, khususnya barisan Habib Rizieq, bermusuhan dengan rezim Jokowi. Sehingga ketika Prabowo lenggang kangkung meninggalkan pendukungnya, para ulama tidak bisa berkata-kata.

Oleh karena itu, pertarungan politik antara Anies dan Prabowo ke depan harus diletakkan sebagai pertarungan tanpa beban sejarah. Debat dan format debat yang diatur KPU harus dianggap sebagai acuan yang wajar dalam menunjukkan kemampuan logik, dialektika dan retorika. Jika ada yang tidak wajar, KPU dan Bawaslu diminta untuk mengevaluasi dan menilainya. Namun, membuat kemarahan dan hujatan di luar panggung debat tentunya menjadi kurang produktif.

Demi kompetisi yang produktif, kata-kata penghinaan “pepatah anjing”, selain totol dan goblok, yang ditujukan pada Anies, haruslah dihentikan. Itu sudah di luar kepantasan seorang calon pemimpin bangsa.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *