Mabuk Kuasa dan “Kebenaran Elektoral”

Kebenaran Elektoral
Mabuk kekuasaan

Adu persepektif yang mengulas aneka gagasan substantif—apalagi di era media sosial yang serba cepat dan pendek—seringkali mudah terhalang oleh aneka gimik dan pandangan partisan yang mendominasi banyak percakapan publik.

Sementara kejernihan pandangan reflektif yang bermuatan nilai-nilai moral betapapun substantifnya tertutupi oleh kebenaran yang berdimensi kepentingan.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Kebenaran yang berdimensi moral sedang kalah saing dan ditundukan oleh kebenaran yang populer.

Kebenaran ilmiah yang bersifat rasional dan faktual yang dibungkus dengan paradigma survei dalam batas-batas tertentu telah menjadi propaganda tersendiri untuk memuluskan apa yang disebut oleh pakar ilmu filsafat Karlina Supeli sebagai operasi “rezim otokrasi elektoral”.

Suatu rezim yang dipilih secara demokratik, tetapi secara perlahan sedang membunuh demokrasi itu sendiri.

Ide terselubung “tiga periode” yang diucapkan oleh pejabat penguasa adalah cerminan dari mabuk kuasa dengan mengatasnamakan seruan moral, “demi keberlangsungan pembangunan” dan atas nama “kemajuan Indonesia”.

Suatu diksi propagandis yang bisa memengaruhi nalar publik. Jika itu dijadikan sebagai kebenaran pengetahuan, maka pengetahuan ini telah “berselingkuh” dengan ide politik perpanjangan kekuasaan.

Dan akhirnya, dalam realitasnya, ide perpanjangan kekuasaan telah menjelma dalam peristiwa hukum di Mahkamah Konstitusi dengan meminjam istilah pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahnedra sebagai “penyelundupan hukum”.

Kebenaran hukum produk Mahkamah Konstitusi berjalan melenggang sambil menggendong cacat etika.

Meski dalam prinsip-prinsip demokrasi amat problematis, rezim otokrasi elektoral merasa dipandu oleh “kebanaran hukum” yang sah. Artinya, debat moral bukanlah penghalang untuk menjalankan sistem demokrasi prosedural.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *