Presiden Boleh Berkampanye, Salah Kaprah Jokowi

Presiden Boleh Berkampanye
Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto

Ia berpendapat bahwa tindakan yang menghasilkan kebahagiaan yang maksimal untuk sebanyak mungkin orang adalah tindakan yang moral.

Jadi, pandangan etika Mill, yang didasarkan pada prinsip utilitarianisme, dapat diinterpretasikan sebagai pentingnya mempertimbangkan konsekuensi dan akibat tindakan dalam menentukan kebaikan moral.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Begitu pula dengan Martin Luther King Jr., pemimpin hak sipil Amerika dalam pidatonya yang terkenal, “I Have a Dream,” yang juga menekankan nilai-nilai moral dan persamaan dengan landasan etika.

Meskipun King menghargai hukum sebagai alat untuk menuju perubahan positif, namun pandangannya tentang keadilan dan kesetaraan lebih mencerminkan pentingnya etika daripada mematuhi hukum tertulis.

Dalam pemikiran dan tindakannya, King lebih mencerminkan konsep bahwa kebenaran dan etika dapat melebihi batasan hukum yang tidak adil.

Jauh sebelum Kent, Mill dan King, Socrates pun lewat pemikirannya yang dicatat muridnya, Plato, dalam dialog-dialog “Apology,” “Crito,” dan “Phaedo” sekitar pertengahan hingga akhir abad ke-4 SM, juga turut menjelaskan pentingnya etika dan keadilan.

Mereka mungkin ada yang tidak secara eksplisit menyebutkan “etika lebih tinggi dari hukum”, tetapi membahas pentingnya aspek etika dan moralitas yang mendalam dalam pengambilan keputusan.

Landasan pikir mereka soal etik, termasuk pula dampak buruk dari kampanye politik yang dilakukan oleh seorang presiden seperti yang dikemukakan di atas, memberikan sinyalemen atau pertanda yang kuat, bahwa Jokowi telah salah kaprah soal presiden boleh ikut kampanye dan memihak.

Jokowi telah salah dan menyederhanakan persoalan, hanya ada dalam pertimbangan hukum, dan tak memedulikan kaidah etik, sesuatu yang juga telah tercederai manakala putranya Gibran Rakabuming Raka diloloskan menjadi calon wakil presiden.

Belum ikut kampanye politik secara kaffah atau terang-terangan pun, telah ada sejumlah paradoks karena putranya ikut berkontestasi, apalagi bila Presiden Jokowi ikutan berkampanye secara terbuka, rasa-rasanya itu tak tidak adil bagi kontestan lainnya.

Sumber: kompas

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *