Cak Nur dan Jokowi

Cak Nur dan Jokowi
kolase Cak Nur dan Jokowi
banner 400x400

Oleh: Abdul Kohar, Dewan Redaksi Media Group

Hajinews.co.id – PESIMISME terhadap masa depan demokrasi di Indonesia kian menjalar, akhir-akhir ini. Pemicunya, praktik demokrasi yang dibajak anak kandung demokrasi sehingga membuat demokrasi itu sekarat. Prinsip-prinsip fairness, keadilan, imparsialitas politik, serta ketaatan terhadap aturan ditabrak dengan sengaja secara membabi buta oleh elite negara.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Dalam situasi seperti itu, saya lalu teringat pada cendekiawan Nurcholish Madjid alias Cak Nur. Ia tokoh yang gigih memperjuangkan ide sekaligus mempraktikkan gagasan demokrasi yang ia dengungkan. Padahal, Cak Nur pernah dikritik sebagai ‘penjagal demokrasi’ karena slogan ‘Islam yes; partai Islam no’. Slogan itu dianggap membonsai aspirasi politik umat Islam dan menguntungkan Golkar serta rezim Orde Baru.

Padahal, slogan itu sama sekali tidak dimaksudkan untuk membonsai demokrasi. Slogan itu justru untuk menaikkan level umat yang tengah berada dalam kejumudan (kemandekan) menuju cara berpikir baru yang tercerahkan. Mengubah dari sekadar menawarkan kulit demokrasi menuju isi dan esensi demokrasi.

Pernyataan Cak Nur tentang ‘Islam yes; partai Islam no’ sebenarnya bukanlah pernyataan yang berdiri sendiri. Ia merupakan subtema dari suatu tema besar tentang perlunya upaya sekularisasi pemikiran Islam yang ditulis dalam artikel Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat.

Ada dua tema besar lain dalam artikel yang dipresentasikan pada acara halalbihalal, 3 Januari 1970, yang diadakan PII (Pelajar Islam Indonesia), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) GPI (Gerakan Pemuda Islam), dan Persami tersebut, yaitu kebebasan berpikir serta idea of progress dan sikap terbuka.

Dalam tulisan itu, Cak Nur merasakan perlunya upaya sekularisasi, yaitu menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya. Sekularisasi di sini tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum muslim menjadi sekularis.

Dalam konteks itulah pernyataan ‘Islam yes; partai Islam no’ diletakkan. Partai politik Islam dan aktivitas sosial-politik lainnya bersifat duniawi. Tidak boleh dipandang sebagai bernilai transendental (ukhrawi).

Tidak dibenarkan kualitas keislaman seseorang ditentukan karena ia berpartai Islam atau bukan. Kriteria berislam dengan kriteria berpartai Islam adalah jauh berbeda. Yang satu berpedoman pada kitab suci, yang lain mengikuti hukum dan kaidah-kaidah duniawi. Islam dalam pandangan Cak Nur tidak mengenal sistem teokrasi. Juga tidak mengenal sekularisme. Islam justru menerima dan cocok dengan sistem demokrasi.

Mengapa demokrasi? Kata Cak Nur, “Dengan demokrasi memungkinkan orang-orang yang terpilih jadi pemimpin nasional adalah yang memiliki kompetensi dan kualitas kepemimpinan yang mampu menjawab persoalan-persoalan bangsa. Bukan karena agama tertentu lalu yang bersangkutan didukung dan dipilih jadi pemimpin tanpa memedulikan kompetensi dan kualitas kepemimpinan.”

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *