Menyikapi Isu Pemakzulan Presiden

Isu Pemakzulan Presiden
Jokowi dan Prabowo
banner 400x400

Oleh: Lalu Hartawan Mandala Putra – Praktisi hukum di HMP & Associates Law Office

Hajinews.co.id – Pergulatan politik menjelang pemilu akhir-akhir ini kembali membawa suasana ketegangan dan ketidakharmonisan dalam berbangsa dan bernegara. Salah satu hal yang menjadi penyebab utamanya adalah munculnya wacana pemakzulan Presiden setelah adanya permintaan dari sejumlah tokoh dan masyarakat sipil yang tergabung dalam Petisi 100 Penegak Daulat Rakyat yang mendatangi Menkopolhukam Mahfud MD untuk memakzulkan Presiden Joko Widodo karena diduga telah melanggar konstitusi dan laporan terkait dengan adanya dugaan kecurangan dalam pemilu.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Beberapa dugaan pelanggaran konstitusi oleh Presiden yang dilaporkan di antaranya terkait dengan adanya nepotisme dalam Mahkamah Konstitusi (MK), intervensi lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Dewan Pengawas KPK melalui revisi Undang-Undang KPK, penerbitan Perpres No. 54 Tahun 2020 tentang APBN yang seharusnya dibahas dan mendapat persetujuan DPR, dan menerbitkan Perpu Cipta Kerja dengan mengesampingkan perintah dari putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang inkonstitusional bersyarat.

Menariknya, mekanisme yang dilakukan dalam mengajukan permohonan pemakzulan ke Menkopolhukam merupakan langkah yang keliru dan tidak sesuai dengan tata cara pemakzulan Presiden dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang secara eksplisit dijelaskan dalam konstitusi yakni Pasal 7B ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan:

Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajuakn permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Sehingga, secara prosedural upaya yang dilakukan dalam pemakzulan presiden ke Menkopolhukam adalah langkah yang secara hukum inkonstitusional sehingga sulit bagi presiden untuk dijatuhkan dengan mekanisme yang seperti itu. Namun, yang menarik dari alasan pemakzulan yang diajukan oleh Petisi 100 terkait dengan frasa adanya dugaan “pengkhianatan terhadap negara” yang menimbulkan berbagai macam polemik dan penafsiran.

Lantas, bagaimana kualifikasi dan penjelasan secara yuridis atas frasa “pengkhianatan terhadap negara” tersebut?

Undang-Undang Dasar 1945 secara expressive verbis memang tidak memberikan penjelasan yang pasti terkait dengan unsur pengkhianatan terhadap negara. Tetapi, kita bisa merujuk pada beberapa ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang lain seperti Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi; dalam Pasal 10 ayat (3) huruf a menyebutkan bahwa pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *