Gelombang Kritik Terhadap Jokowi Menyebar dari Kampus

Kritik Terhadap Jokowi Menyebar dari Kampus
iIustrasi gelombang kritik
banner 400x400

Prof. Arief Anshory Yusuf, Ketua Dewan Profesor Universitas Padjadjaran, mengatakan bahwa Petisi Seruan Padjadjaran yang disampaikan pada Sabtu (3/2) memang terpicu oleh kampus-kampus lain, plus fakta bahwa kepemimpinan Jokowi memang sudah melampaui batas.

Kami (akademisi) selama ini tidur atau ketiduran karena sibuk menulis jurnal dan mengajar, seakan tidak peduli dengan proses kemasyarakatan. Tetapi apa yang dilakukan pemerintah sekarang sudah keterlaluan, sehingga membangunkan raksasa tidur.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

– Prof. Arief Anshory Yusuf, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unpad

Para akademisi Unpad yang ikut “bangun tidur” sesungguhnya sudah merasakan sejak lama adanya keresahan terhadap kepemimpinan Jokowi. Secara pribadi, Arief menilai kualitas demokrasi Indonesia menurun selama enam tahun terakhir. Hal ini diperparah dengan revisi UU KPK pada akhir periode pertama Jokowi.

Arief mengakui, para akademisi semula malu-malu dalam bersikap karena secara struktural berada di bawah Kemendikbud. Namun ketika melihat demokrasi berjalan semakin mundur, mereka memutuskan tak mau lagi menutup mata dan berdiam di menara gading, atau bahkan “kabur” dari realita di sekeliling.

Petisi ‘Seruan Padjajaran’ yang dibacakan di Kampus Unpad Dipatiukur, Bandung, 3 Februari 2024.

“Presiden dan elite politik harus menjadi contoh keteladanan kepatuhan terhadap hukum dan etika. Bukan justru menjadi contoh melanggar etika, apa yang diucap tidak sesuai dengan kenyataan,” bunyi poin kedua Petisi Seruan Padjadjaran yang dibacakan Ketua Senat Akademik Unpad Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia, DEA. di Kampus Dipatiukur.

Arief mengatakan, tak butuh waktu lama bagi civitas akademika Unpad untuk menyepakati substansi dari petisi tersebut yang seluruhnya berjumlah 7 butir, dengan butir keenam berisi kritik tajam berbunyi, “Pemilu 2024 sebagai institusi demokrasi tidak boleh diolok-olok atau direduksi maknanya sekadar prosedur memilih pemimpin. […]”

Dalam semalam, Petisi Seruan Padjadjaran ditandatangani oleh 82 profesor dan 1.030 civitas akademika Universitas Padjadjaran.

“Profesor di lingkungan kampus itu susah diatur karena cara berpikir dan visinya beda-beda. Tapi membuat seribuan orang menandatangani sebuah petisi, itu something,” kata Arief.

Sehari sebelum Unpad, 2 Februari 2024, UI terlebih dahulu bersikap melalui Deklarasi Kebangsaan Dewan Guru Besar UI. Deklarasi ini bertepatan dengan Dies Natalis ke-74 UI, dan berisikan 4 butir tuntutan: kebebasan berekspresi, hak memilih tanpa diintimidasi, netralitas dari semua aparatur negara, dan ajakan bagi semua perguruan tinggi untuk mengawasi proses perhitungan suara.

“Negeri kami tampak kehilangan kemudi akibat kecurangan dalam perebutan kuasa, nihil etika, menggerus keluhuran budaya serta kesejatian bangsa,” kata Ketua Dewan Guru Besar UI Prof. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A., Phd.D yang selama ini malang melintang di bidang hukum dan hak asasi manusia.

Harkristuti yang pernah menduduki jabatan Dirjen Administrasi Hukum Umum Kemenkumham (2015) dan Dirjen HAM Kemenkumham (2006–2014) menyatakan, ia dan rekan-rekannya sempat diintimidasi sebelum menggelar Deklarasi Kebangsaan. Mereka mendapat pesan WhatsApp dari alumni UI yang kini aparat berseragam, yang menyebut kecewa karena UI ikut-ikutan UGM.

Atas pesan itu, Harkristuti menjawab bahwa kampus memiliki kebebasan akademik untuk menyampaikan sikapnya.

Alumnus Fakultas Kedokteran UI yang juga aktivis Malari dan aktivis Reformasi, Judilherry Justam, ikut dalam Deklarasi Kebangsaan UI itu. Ia pun turut berorasi usai deklarasi. Judil yang mendukung Jokowi pada periode pertamanya menganggap Jokowi kini sudah melenceng dari rel.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *