Gelombang Kritik Terhadap Jokowi Menyebar dari Kampus

Kritik Terhadap Jokowi Menyebar dari Kampus
iIustrasi gelombang kritik
banner 400x400

Penulis buku Anak Tentara Melawan Orba itu kecewa ketika Jokowi mendukung revisi UU KPK, tak lagi melibatkan KPK-PPATK dalam proses seleksi menteri kabinet, dan menjadikan pengurus partai sebagai menteri.

Judil menyimpulkan, Jokowi mengedepankan politik transaksional dengan DPR pada periode keduanya. Di satu sisi, ada desakan DPR untuk merevisi UU KPK. Di sisi lain, Jokowi punya kepentingan untuk meloloskan UU Cipta kerja.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

“Tidak ada bedanya Jokowi dengan Soeharto. Soeharto menggunakan kekerasan, Jokowi menggunakan instrumen demokrasi. Orang yang dipilih secara demokratis [lewat pemilu] justru cenderung mematikan demokrasi,” ujar Judil.

Ia mendesak Jokowi menghentikan keberpihakannya. Ia juga mendorong anggota DPR yang kini berseberangan dengan Jokowi untuk mengajukan hak interpelasi atau hak angket terhadap sang Presiden.

Dituding Orkestrasi Elektoral

Sikap para akademisi dari berbagai kampus tersebut sampai di telinga Jokowi. Ia menyatakan seruan atau petisi itu merupakan hak berpendapat dalam demokrasi. Namun, Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, justru menyebut seruan yang mendekati hari pencoblosan itu tak lepas dari kepentingan elektoral.

“Jelang pemilu, pertarungan opini pasti terjadi. Akhir-akhir ini terlihat ada upaya dengan sengaja mengorkestrasi narasi politik tertentu untuk kepentingan elektoral. Strategi politik partisan seperti itu sah-sah saja dalam ruang kontestasi politik,” kata Ari yang juga alumni UGM.

Dosen UGM Agus Wahyudi, Ph.D. membantah ada tujuan elektoral di balik sikap kritis civitas akademika kampusnya. Bantahan serupa juga datang dari Guru Besar UI Prof. Harkristuti Harkrisnowo.

“Kekuasaan sering salah membaca realitas. Itu ujian bagi kemampuan membaca kenyataan sosial,” kata Agus yang dua kali meraih penghargaan Satya Lancana Karya Satya (2009 dan 2019) atas dedikasi dan kecakapannya dalam bertugas.

Cawapres 02, Gibran Rakabuming, menganggap beragam petisi tersebut sebagai masukan. Adapun capres 01, Anies Baswedan, dan capres 03, Ganjar Pranowo, berpendapat suara dari kampus-kampus merupakan bukti bahwa demokrasi sedang tidak baik-baik saja.

“Kalau kampus-kampus sudah mulai bersuara, artinya ada masalah serius,” kata Anies usai kampanye akbar di Deli Serdang, Sumatera Utara, Kamis (1/2).

“Ini alert buat kita, buat bangsa Indonesia, bahwa siapa pun tidak boleh memainkan demokrasi,” ujar Ganjar di Jakarta, Sabtu (3/2).

Prof. Arief Anshory mengatakan, kegelisahan yang dirasa para guru besar tak seberapa dibanding di kalangan mahasiswa yang bisa berkali lipat. Untuk itu, ia meminta para mahasiswa lebih awas dalam mengontrol pemerintahan, sebab berkaca pada sejarah, gerakan Reformasi 1998 bermula dari keresahan mahasiswa.

“Ketika guru besar teriak desibel 10, mahasiswa harus 100 karena idealisme mereka lebih kuat. Mahasiswa perlu lebih kritis dari senior-seniornya,” tutup Arief.

Sumber: kumparan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *