Gunakan Akal Sehat Agar Indonesia Tak Tersesat

Gunakan Akal Sehat Agar Indonesia Tak Tersesat
Masa Tenang Pemilu

Proses pencalonan para kandidat penting menjadi salah satu faktor yang dipertimbangkan. Penting direview, difahami dan dikaji secara obyektif dan jernih. Kita tahu, proses pencalonan (kandidasi) Pilpres 2024 ini sejak awal telah diwarnai dengan kegaduhan yang belum pernah terjadi dalam sejarah elektoral Indonesia sebelumnya. 

Kegaduhan itu, yang kemudian berekor panjang hingga saat ini, dipicu oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90 perihal syarat minimal usia Capres dan Cawapres. Putusan ini sah secara hukum, dan dengan modal putusan inilah Gibran bisa menjadi Cawapres pendamping Prabowo. 

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Masalahnya kemudian, setelah banyak pihak mempersoalkan putusan tersebut dan mengadukannya kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), para hakim MKMK mendapatkan bukti-bukti kuat dan meyakinkan perihal adanya pelanggaran etik berat dalam proses peradilan judicial review di MK. Anwar Usman selaku Ketua MK akhirnya diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua. Namun sekali lagi, secara hukum putusan itu sah; final and binding, tuntas dan mengikat.

Poin penting yang perlu difahami pemilih dari kasus itu adalah, bahwa proses pencalonan Gibran sebagai Cawapres telah melewati satu fase tak sehat. Yakni pelanggaran etik yang dilakukan oleh Ketua MK, yang tidak lain adalah pamannya sendiri. Suatu peristiwa nir-etik yang pasti akan dicatat panjang dalam sejarah masa depan kepolitikan Indonesia.

Kasus nir-etik itu penting menjadi dasar pertimbangan karena semua bangsa beradab pastinya tidak menginginkan negaranya dipimpin oleh seorang pemimpin yang lahir dari suatu proses politik elektoral yang secara moral telah cacat sejak awal. 

Satu hal yang patut dikhawatirkan dan terbukti sekarang telah menebarkan kecemasan bahkan di kalangan cendekiawan adalah bahwa langkah awal yang buruk ini akan menjadi tonggak sejarah hadirnya keburukan demi keburukan di kemudian hari.

Dan tiga hari lalu keburukan moral itu sudah terjadi. Ketua dan semua Anggota KPU RI dinyatakan oleh DKPP melanggar kode etik sebagai penyelenggara Pemilu karena menerima pendaftaran Paslon Prabowo-Gibran sementara Peraturan KPU yang mengatur pendaftaran Capres-Cawapres belum direvisi sesuai putusan MK 90 yang cacat etik itu.

Tentu saja harus diakui, bahwa semua Paslon juga bukanlah figur-figur yang sempurna. Dan Pemilu memang tidak sedang mencari sosok supermulia, manusia paripurna serupa Nabi atau Malaikat. 

Tetapi kewarasan budi dan akal sehat (common sense) kebangsaan kita pastilah akan menuntun pada logika sederhana. Jika tidak ada figur terbaik dan ideal, maka pilihlah figur yang paling baik diantara para calon yang ada saja. 

Jika yang baik pun tidak ada (sementara sudah tiba waktunya bangsa ini harus memilih pemimpin karena kewajiban syar’i atau amanat konstitusi), maka pilihlah figur yang keburukan atau potensi keburukannya paling kecil, paling sedikit. 

Sebagaimana didalilkan dalam tesis minimalis Profesor (Romo) Magnis Suseno. Bahwa Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, melainkan untuk mencegah yang terburuk berkuasa.

Data dan informasi seputar para kandidat sudah sangat terbuka, termasuk latar belakang sosial, rekam jejak bahkan juga lingkungan yang mengitarinya saat ini. Siapa berkawan dengan siapa sangat jelas, dan kawan siapa tersandera persoalan apa juga sudah terang benderang. 

Tetapi itu semua bisa tidak berguna sama sekali, kecuali jika akal sehat dan kewarasan budi para pemilih digunakan maksimal untuk menimbang, membanding dan memutuskan. Maka ayolah, di Masa Tenang nanti, katong maksimalkan piranti akal sehat agar di kemudian hari Indonesia tidak tersesat!   

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *