Kultum 381: Tentang Niat Berpuasa Ramadan

Tentang Niat Berpuasa Ramadan
Dr. H. Rubadi Budi Supatma, Wakil Ketua Departemen Kelembagaan dan Hubungan Luar Negeri Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, PP IPHI.
banner 400x400

Oleh: Dr. H. Rubadi Budi Supatma, Wakil Ketua Departemen Kelembagaan dan Hubungan Luar Negeri Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, PP IPHI.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Bacaan Lainnya
banner 400x400

اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُ

Pembaca yang dirahmati Allah,

Hajinews.co.id – Niat berpuasa Ramadan adalah Fardhu dan Nabi kita tercinta Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, “puasa seseorang tidak diterima jika dia tidak membuat niat di malam sebelumnya”. Artinya untuk semua puasa fardhu yaitu puasa wajib, menjadikan niat pada malam sebelumnya adalah wajib. Ini bisa menjadi bagian mana saja dari malam sebelumnya, bisa sampai larut sebelum waktu Fajar (Subuh).

Dalam hal niat puasa Ramadan, waktu niat puasa harus dilakukan pada malam hari mulai ba’da maghrib sampai terbit fajar. Apabila dilakukan di luar waktu tersebut maka niatnya tidak sah dan otomatis puasanya juga tidak sah. Hal ini sesuai dengan hadits riwayat Imam ad-Daru Quthni,

مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ طُلُوعِ

الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

Artinya:

Barangsiapa tidak berniat puasa sebelum fajar subuh, maka tidak ada puasa baginya (juga dalam hadits daru Quthni yang lain no. 172).

Jadi, niat puasa wajib itu adalah di malam hari sebelum Shubuh. Jika niat puasa wajib baru dimulai setelah terbit (fajar) Shubuh, maka puasanya tidaklah sah. Dalilnya adalah hadits dari Hafshah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ

الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

Artinya:

Siapa yang belum berniat di malam hari sebelum Shubuh, maka tidak ada puasa untuknya (HR. An-Nasai no. 2333; Ibnu Majah no. 1700; dan Abu Daud no. 2454).

Berdasarkan hadits tersebut, kapan saja di malam hari kita bisa melakukan niat. Kita juga bisa melakukan niat di awal Ramadan dan itu dan dapat berlaku untuk seluruh bulan Ramadan. Tetapi, jika kita membatalkannya jika kita sakit atau jika kita bepergian, maka kita harus berniat lagi tetapi satu niat juga.

Bahkan satu niat cukup untuk sebulan penuh Ramadan. Tapi ini pun hanya untuk puasa yang fardhu. Untuk puasa sunnah, niatnya tidak fardhu karena ada riwayat hadits, “Suatu ketika Nabi memberi tahu istrinya bahwa dia ingin makan, dan istrinya mengatakan bahwa tidak ada makanan untuk dimakan, maka dia berkata, baiklah saya puasa”. Itu artinya niatnya tidak ada sebelumnya atau pada malam sebelumnya, dia membuatnya seketika itu.

Dari riwayat tersebut, bisa dipahami bahwa Nabi menahan tidak makan sampai sebelum fajar. Tetapi karena tidak ada makanan, maka (di pagi hari) saat itulah dia berniat berpuasa. Jadi untuk puasa sunnah niatnya tidak harus pada malam sebelumnya kecuali puasa sunnah yang sudah diatur seperti Asyura (tanggal 10 Muharram atau demikian juga puasa hari Arafah).

Dari perbedaan waktu harus berniat dalam hal puasa wajib dan puasa sunnah itu, kita juga bisa simpulkan bahwa Allah Subhanahu wata’ala hanya membebani seseorang sesuai kemapuannya. Allah berfirman,

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ لَهَا

مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ

Artinya:

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya (QS. Al-Baqarah, ayat 286).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *